Andi Pangerang Petta Rani atau lengkapnya Andi Pangerang Petta Rani
Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang lahira pada
tanggal 14 Mei 1903 dari rahim seorang wanita bernama I Batasai Daeng
Taco. Ayahnya adalah seorang bangsawan bernama Andi Mappanyukki yang
kemudian dikenal sebagai raja Bone ke XXXI.
Awalnya beliau bernama Andi Pangerang Daeng Rani tapi kemudian
masyarakat lebih familiar dengan Petta Rani. Tidak ada catatan mengenai
perubahan ini, pun dengan waktu pastinya. Sementara itu nama Pangerang
sendiri bermula dari sebuah peristiwa ketika beliau masih dalam
kandungan. Ketika itu pasangan yang sedang menanti kelahiran anak mereka
itu mendatangi orang tua mereka sambil membawa persembahan atau
erang-erang dalam bahasa Makassar. Peristiwa inilah yang kemudian
diabadikan dalam nama Pangerang. Jadi Pangerang yang dimaksud bukanlah
seperti Pangeran dalam bahasa Indonesia.
Dalam tubuh Andi Pangerang Petta Rani mengalir darah bangsawan murni
dari dua kerajaan besar, Bone dan Gowa. Meski begitu sama sekali tidak
ada sifat beliau untuk menjunjung tinggi darah bangsawannya. Berbagai
sumber menyatakan kalau semasa hidupnya Andi Pangerang Petta Rani selalu
berusaha untuk tidak terikat pada gelar kebangsawanannya. Hidupnya
sederhana dan selalu menghormati orang lain meski saat itu feodalisme
masih sangat kental di Nusantara.
Sifat tuna pamai atau rendah hati yang dimiliki beliau menurun dari
sang ayah. Meski seorang bangsawan, Andi Mappanyukki tidak serta merta
tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang memang terkenal senang
mendekati para bangsawan. Andi Mappanyukki malah terang-terangan
menentang kolonialisme sehingga sempat dibuang ke Selayar bersama
keluarganya.
Andi Pangerang Petta Rani hidup dalam lingkungan yang keras dan
egaliter. Sedari kecil dia sudah membiasakan dan dibiasakan hidup di
antara rakyat kebanyakan tanpa harus berlindung di bawah previlige
sebagai seorang bangsawan. Menurut cerita beliau sering memarahi kawan
sepermainannya bila mereka segan menabrakkan diri ketika bermain bola.
Teman-temannya mungkin masih segan mengingat Petta Rani adalah seorang
bangsawan, tapi justru itu yang membuat Petta Rani menjadi tidak nyaman.
Andi Pangerang Petta Rani tumbuh menjadi anak muda yang cerdas, cakap
dan berkeinginan kuat. Itu pula yang membawa karirnya di dunia militer
dan pemerintahan meroket dengan cepat. Puncaknya adalah pada tahun 1956
ketika dia diangkat menjadi gubernur militer untuk wilayah Sulawesi di
tengah suasana Indonesia yang masih kacau.
Andi Pangerang Petta Rani mempunyai 8 orang anak dari 3 orang
istrinya. Istri pertama yang dinikahinya tahun 1929 bernama Basse Daeng
Talanna. Perempuan yang meninggal tahun 1951 ini memberinya 5 orang
anak. Istri keduanya bernama Daeng Karang, dinikahi di tahun yang sama
dengan istri pertamanya. Daeng Karang memberi 3 orang anak. Tahun 1952
Andi Pangerang Petta Rani menikah untuk ketigakalinya dengan wanita
bernama Ratna Winis Daeng Carammeng. Dari pernikahan ketiga ini mereka
tidak dikarunia anak.
Selain terkenal sebagai seorang pejuang militer dan sipil, Andi
Pangerang Petta Rani juga dikenal sebagai seorang pembina Persatuan
Sepakbola Makassar (PSM). Kesuksesan PSM pada era 1950an hingga awal
1960an tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Andi Pangerang Petta Rani.
Beliau adalah sosok yang sangat dekat dan perhatian pada para pemain.
?Beliau sering meluangkan waktu untuk bertanya tentang kondisi pemain,
termasuk kondisi keuangan atau rumah tangga mereka. Tak heran bila
semangat pemain sangat tinggi bila mereka didampingi Andi Pangerang
Petta Rani.
Banyak kisah yang menceritakan tentang keserdahaan seorang Andi
Pangerang Petta Rani, termasuk kebiasaannya menaiki becak ke tempat
tujuan meski dia masih berstatus gubernur. Beliau beralasan itu sebagai
satu cara untuk mendekatkan diri dengan rakyat. Jabatan gubernur dan
darah bangsawan hanya titipan, bukan untuk disombongkan; demikian kata
beliau.
Banyak kisah yang menggambarkan betapa sederhana dan kuatnya
kepribadian seorang Andi Pangerang Petta Rani. Sebagian orang malah
menganggap beliau sebagai God Father, sosok yang mengayomi dan lekat
dengan rakyatnya. Tak heran bila namanya diabadikan sebagai nama sebuah
jalan besar di kota Makassar dan kota-kota lainnya.
Pertemuan Presiden Sukarno dengan raja-raja se-Sulawesi di Yogyakarta yang berakhir
dengan pembubaran kerajaan tersebut. Dari kiri: Raja Bone Andi
Mappanyukki, Presiden Sukarno, Sultan Buton La Ode Falihi, dan Gubernur
Sulawesi Andi Pangerang Petta Rani