Wali Pitue (Wali Tujuh)
1)Syekh Yusuf (Toanta Salamaka),
2) Petta Lasinrang (Petta Lolo), 3). Arung Palakka (Petta to malampe'e
gemmena), 4) KH. Harun, 5) Pettabarang, 6) Imam Lapeo, 7) Dt. Sangkala
Syekh Yusuf (Toanta Salamaka) Seorang Penyebar agama islam dari Tanah Mekkah sampai Banten, Petta Lasinrang Seorang Raja dari Tanah Pinrang yang arif nan bijak sana dan gencar menyebarkan agama islam. yang terpenting Beliau Pemberani, Arung Palakka. KH. Harun : Beliau berasal dari Kerajaan Tallo, Petta Barang
atau Petta To Risappae konon beliau mallajang diatas kudanya dan
penunggu kudanya hingga sekarang masih ada. beliau adalah keturunan raja
Barru yang kuat akan agama, Imam Lapeo :
seorang imam di Desa Lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama Islam
sampai ketanah Bugis. sering memperlihatkan mukjisat dari Sang Kuasa, Dt. Sangkala :Hingga saat ini belum ada info detail tentangnya. Merekalah ke tujuh wali yang diyakini oleh Masyarakat di Tana Bugis .
Selain itu terdapat beberapa wali lagi yang di yakini oleh
masyarakat Indonesia yakni Wali songo, dan Wali Pitu yang berada di Bali
yakni 1) Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung),
2)Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, 3) Chabib Ali
Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, 4) Chabib
Ali Zaebal Abidin Al Idrus di Karangasem, 5) Syech Maulana Yusuf Al
Baghdi Al Magribi di Karangasem, 6) The Kwan Lie di Buleleng, dan 7)
Chabib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.
Seorang Raja Bone yang bisa membebaskan Masyarakat Bone dari penindasan
kerajaan Gowa dan beliau di Juluki Sang Pembebas dengan gelar Pahlawan
Kemanusiaan.
Mungkin menjadi pertanyaan, bahwa apakah masyarakat Tana
Bugis telah memahaminya ? kalaupun belum, mungkin di sebabkan karena
kurangnya publikasi akan wali pitue selama ini ataukan memang mereka
baru tahu kalau memang kebudayaan kita juga memiliki Wali Pitue ?
Wali Songo
Wali Songo
Dulu, ketika
masih kanak-kanak, saya mengenal cerita tokoh WALISONGO dari guru
mengaji di kampung. Walisongo dikenal sebagai 9 orang wali yang
menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Setelah membaca beberapa buku sejarah
Walisongo, ternyata apa yang saya ketahui tentang Walisongo pada saat
masih kanak-kanak itu sebenarnya bukanlah 9 orang Wali kharismatik yang
menyebarkan Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian Walisongo yang
sebenarnya adalah Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh yang bernama
Walisongo, di dalamnya tergabung 9 para ulama kharismatik yang berdakwah
di seluruh pelosok pulau Jawa.
Untuk lebih
mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan sejarahnya yang
terdapat dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan kali ini saya
sajikan Kisah Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid, MA. Untuk kisah
dan pengalaman masing-masing wali yang dikenal masyarakat luas akan saya
sajikan terpisah. Dalam kisah dan pengalaman Walisongo yang ditulis
oleh para sejarawan itu melukiskan berbagai karomah yang diberikan Allah
swt kepada mereka. Bagi sebagian orang -jangankan karomah- mukjizat
yang diberikan Allah swt kepada Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai
cerita bohong belaka, walaupun telah jelas tertulis dalam kitab suciNYA.
Oleh karena itu, membaca kisah Walisongo dengan berbagai karomahnya
tentu bukan hal yang paling utama untuk diambil sebagai pelajaran.
Menurut hemat saya, mengenali semangat, upaya, keikhlasan, serta
ketaatannya kepada Sang Khalik dalam menyebarkan ajaranNYA itulah yang
lebih penting untuk kita ketahui dan teladani.
Seperti yang
tertulis dalam buku Kisah Walisongo tersebut, umumnya kita mengenal
Walisongo hanyalah sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga,
Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan GunungJati
Seperti
tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya
dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melakukan sidang
tiga kali, yaitu:
Tahun 1404 M adalah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut KH
Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang lagi
membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar,
meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan
Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi
anggota Walisongo.
1. Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan
kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur
Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim
ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta
memiliki karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
- Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
- Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
- Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
- Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
- Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
- Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
- Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
2. Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
- Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
- Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
- Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali
kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil
Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian
tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah
sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
3. Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
- Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
- Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
- Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
4. Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
- Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468. - Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
5. Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh
Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota
Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh
Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi
murid Sunan Kalijaga.
Selanjutnya,
kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal masyarakat
secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang
dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
Para
peziarah Walisongo, biasanya mendatangi makam sembilan wali tersebut.
Jika ziarah itu ingin lebih lengkap maka pemimpin ziarah (yang mengerti
sejarah Walisongo) akan menziarahi pula Walisongo periode pertama
hingga periode keempat, termasuk guru-guru atau orang tua dari para wali
periode kelima. Misalnya, seseorang dari Surabaya yang telah berziarah
ke makam Sunan Drajad, ia pasti akan menyempatkan diri berziarah ke
makam Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi di Gresikharjo, beliau
adalah kakek Sunan Drajad dan ayah dari Raden Rahmat Sunan Ampel.
Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga dapat menambah pengetahuan anda semua. Amin!
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah sampai Walisongo
RASULULLAH MUHAMMAD SAW
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh sebelum
Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran.
Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama
Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada
tahun 1082 M.
Jadi,
sebelum jaman Walisongo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah
Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara
besar-besaran.
Maulana
Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal
itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau berdakwah di
Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada masa
itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan
rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat
Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama
Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam
berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang
tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke
jalan Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk
yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara
yang sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125)
Ada yang
menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu
di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri India yang kebanyakan
penduduknya beragama Hindu.
Di Jawa,
Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang
Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya: beliau tidak
langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati
mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian
akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad saw.
Dari
huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir
miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara
yang ulung. Hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap
masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan
rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan
yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam Almarhum
Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi
para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang
berbahagia lagi syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik
Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan
RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat
pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H”
Menurut
literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat
tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan
daun-daunan tertentu.
Sifatnya
lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama
muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang
setia.
Sebagai
misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih
awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah
tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang
mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan
bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah swt.
Di kalangan
rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari
kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi
masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan
Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah
dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka
ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di
dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh
Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia
sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang
lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah
sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling takwa
kepadaNYA.
Takwa itu
letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia
untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala laranganNYA.
Dengan takwa
itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak.
Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia daripada
mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa
lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh
sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam
dengan suka cita.
Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk
mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka
beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam,
tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian
Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah
satu strategi para Wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang
mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara
frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang
mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk
menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren
Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh
Nusantara.
Tradisi
Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang, dimana para
ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang
bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang
sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah,
tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti
tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada
suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang dinamakan
Allah itu?”
Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga bagi
hambaNYA yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang
membangkang kepadaNYA.
Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang diperlukan adaNYA”.
Dua tahun
sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak
hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam,
melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan masyarakat
Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.
Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi
subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan
mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata
Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf
hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik
dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada
kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang
harus ditiru.
Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu
diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain
juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak
Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain
datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja
Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal
agama Islam.
Bersama
Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap
Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras
mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia
bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai
istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi
dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak
keagungan agama Islam.
Rombongan
dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran
sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh
sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan
dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara
mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar
kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang
memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian
menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya
sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan
untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah
rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu
Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik
Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan
daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama
Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja
Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela.
Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan
kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup
berdampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah
sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap
sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H
atau 1419 M.
2. Sunan Ampel
Asal-usul
Kenalkah
anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak
dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan
ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu Imam Bukhari
yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di Samarqand
ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail Kubra,
seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra
bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian
mendapat tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan
Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim
Asmarakandi.
Syekh
Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin
Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini
dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa,
dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa
ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai (Thailand).
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi
mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali
Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya
adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau
pangeran kerajaan. Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu
mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya
sebutan ini cukup dipersingkat Raden.
Raja
Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya
dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya
diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar
di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi
Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di
Palembang.
Ketika Dewi
Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil
tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu
sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian
itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama
Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak
Bintoro.
Kerajaan
Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya
perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada
keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak dan
upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering
dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu bersedih
hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan
para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan
negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu
Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada
suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?”
tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari kanda
Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta
Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit
ini”.
“Tentu saja
aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan
Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah
dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat
di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana
Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan
di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat
sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya
sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar
yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut
dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu Dwarawati
bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat seolah sedang memeluk
kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah
keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
“Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya
sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah.
Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali
Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.
“Bagus!”
sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para
bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
“Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila.
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran.
Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau
Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama
dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada
penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
dengan kalimah syahadat.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama
rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan
agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu
terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat
itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini
masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA,
Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat
sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang
telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan
sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
Di tempat
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat
yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu
bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
Dengan
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama.
Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi pengertian
sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka
sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah
sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun
Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah
dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena
beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka
kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata
Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan
artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap
agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika
Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka
Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk
memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat
diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di
seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden Patah
atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo menggantikan
kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya
Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada
kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan
pihak Majapahit.
Para wali
yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo
secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta
Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar
itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak
Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang
lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan nasehat
kepada Raden Patah.
“Mengapa
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya
sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja
Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku
durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel
dengan tenang.
“Lalu apa
yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun
kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari
dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak
warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit
diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?”
“Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu”,
Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus merangkap
Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya
dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran
Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada
orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka
menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro
yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden
Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat
Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci
Islam.
Raden Patah
dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel.
Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga
diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat
sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan
pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai
pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya
terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban
untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa
Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit
diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten
Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri
menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta
kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang
terakhir.
Demak
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara
pada tahun 1498.
Pada tahun
1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya
karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin
kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan
menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan
Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada
tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
Sejarah
mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui
Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan Kambayat, 13
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa
Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak
Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja
Demak yang pertama.
Sunan Ampel
juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada
tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga
sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan
Ampel.
Beliau pula
yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi
bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap
dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam
musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa
diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam.
Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang
kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Sebaliknya,
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah
menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Adalah
sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga
sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di
sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan
kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan
Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya
demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya
Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali
sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada
debunya.
Ketika Mbah
Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri
yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai
masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid
itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan
Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.
Mendadak
Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh
lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran
melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa
bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya
dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel
seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa
kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada
delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh
meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang
terakhir berada di ujung paling timur.
Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Kisahnya
demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang
ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun
dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak
menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi
banyak orang yang meragukan keakuratannya.
“Apa betul
letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya
orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab,
melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu
berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah
pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?”
Orang-orang
itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di
dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah.
Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani
meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat
kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
Dari kisah
karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran
bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas,
seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah
Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan
tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Begitulah
riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka
bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka,
dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.
3. Sunan Giri
Di awal abad
14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan
rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu
hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya
putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah
diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri
belum juga sembuh.
Memang pada
waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah
penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah
Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka
cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran
permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang
dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat
mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau
Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari,
seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang
menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri
makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya
dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna
mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih
Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya
tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih
Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih Bajul
Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya
seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah
Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di
negeri Blambangan.
Patih Bajul
Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur
di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan rakyat
Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak
bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu
ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga
lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana
Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati
untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Patih Bajul
Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror
pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang
dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali
kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan
sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat
itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar,
bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka
dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan
Blambangan.
Demikianlah,
pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri
tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu
saja Patih kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak
menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua bulan
kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok
rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain halnya
dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan
kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia
menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit
berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
“Bayi itu!
Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di
kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di
Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi
itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu
tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya
menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh
juga.
Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya
dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Nakhoda
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu,
mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata
perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik
kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua
orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan
jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi
itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.
Nakhoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau
Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan
diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Di hadapan
Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil
membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu
secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata
sang Nakhoda.
“Bayi…? Bayi
siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari
dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab
Nakhoda kapal.
Bayi itu
kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai
anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena
bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian
memberinya nama Joko Samodra.
Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut
beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya
dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar
anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi
dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu
malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna
melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat
agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat
menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang
santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu
menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar
itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok
harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada
ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra.
Melihat yang
mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak
itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng
Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan
Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
Nyai Ageng
Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di
tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang
bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng
Pinatih.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka
Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak
itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa
kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat
dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran
Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah
berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan
yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
“Di negeri
Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama
besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang
nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak
bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”.
Pesan itu
dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai
di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia
oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat
anaknya sejak bayi.
Raden Paku
menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah
samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang
sangat dicintainya.
Raden Paku
menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan
dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu
tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada.
Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri
Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang
beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang
langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu
Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di
negeri Pasai.
Ilmu yang
dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu
tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang
berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar
Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga
tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa.
Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi
tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah
tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau
membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda
itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya
kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di
daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke
ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah
kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu
Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang
sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan lain-lain.
Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi
kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku
membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada
penduduk setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi
cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita pasti akan
mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita
diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku.
“Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan
ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira
belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk
membersihkan diri”.
“Itu diluar
kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh
uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam
ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum
bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu
dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak
usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng
isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir”. Memang benar, mereka
dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati
Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal
untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu
Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi
mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak
bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung
kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar,
seperti rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya
jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada
penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang, Ki
Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik
buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya
yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka
peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah
bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi
Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki
Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”, demikian
kata Sunan Ampel.
“Tapi…bukankah
saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”,
ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah
melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan
melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah
liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali.
Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul
seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik
di Surabaya.
Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar
pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
Nusantara.
Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan
menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas
melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak
keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku
bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan
Kebomas.
Usai
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di
negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang
tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa
Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya
sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya
dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa
Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu
adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas
dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan
Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri
sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka
telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri
berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya
atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia,
kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas
gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat
dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri
berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok,
Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut
Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di
seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan
lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama
besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya
yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan
pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar
bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan
sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air
itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu
sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan
Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia
itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan
Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran
wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk
setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid
Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat
jamaah Jum’at.
Sunan
Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan
Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi,
lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena
itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu.
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang
Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka
perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu
akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang
wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan
demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.
Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak
positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah
Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat
istiadat lama.
Di bidang
kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang
dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran,
Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara
permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara
anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya
menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila
telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan
lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan
tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam
Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang
dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di
halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang
lari terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh
Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan
dari Sunan Giri.
Giri Kedaton
atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan
Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya
yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri
itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh
Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah
menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di
Kediri.
Pemberontakan
Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan
Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah
wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap
raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan
Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang
ditentang Walisongo.
Sesudah
Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri,
yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai
ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu bisa Anda
buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri
makamnya.
4. Sunan Bonang
Brahmana dari India
Agama Islam
yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari
belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah
seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama
beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula
kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat
dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku
Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu
kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan
kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika
dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya.
Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya,
yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas
sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang
ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya
tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah
berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai
setinggi bukit.
Dengan
kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak
menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya namun
terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung
tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang
balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun
pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun
kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan
Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu
didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah.
Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan
menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di
perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah
ditelan air laut.
Tapi niatnya
untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan
murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah
dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia
menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan.
Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.
Saat hampir
putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah
putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya
segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah
putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Kisanak,
kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan
Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu
dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”,
tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan”,
kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah
tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam.
Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa banyak
bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap di
pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap,
membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah
kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang
Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar
miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga
siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid
sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung aja menyerobot air
jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa
kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena meminum air
di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
“Segar! Aduh
segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain
segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana
Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar.
Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin
menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah
putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap
kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah
putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk
mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan!
Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.
Seribu
Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana.
Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah
putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang
Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab
lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah
lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
“Bangunlah
untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari
kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada
sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha
Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang
adanya.
“Ampun!
Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan
mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin
berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang.
“Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang
kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya.
Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah,
aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya
Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah
melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam
bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang
Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin
membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang
telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka
Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama
saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.
Ia bergidik
ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang ombak
badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya
mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya
dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah
yang bakal binasa.
“Kanjeng
Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu
kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus
mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi.
Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah
memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk
agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.
Sekali lagi
sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan
bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin.
Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia akan
bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
“Bawa semua
kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang
sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya
segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah
Sunan Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang
mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena
ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja
Majapahit.
Sebagai
seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama
se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam
secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan
rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar,
maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah
seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh
Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada
para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli
tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah
belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu.
Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi,
sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para
pendengarnya.
Setiap Raden
Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang
ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden
Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan
penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal
mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar
Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang
biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan
bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita
segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala
penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid
yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau
Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya
menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan
Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah
mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik
orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam
harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk
membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah
Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena
tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
Kapal layar
segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan
Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa
bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban
yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara
kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya.
Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.
Dengan
demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan
di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang
wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di
kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang
dari segala penjuru Tanah Air.
5. Sunan Kalijaga
Diusir Dari Kadipaten
Sunan
Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu
Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden
Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi
Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil
Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan
yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak.
Gelora jiwa
muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum
pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat
jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan
adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar
pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan
jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden
Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas,
yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang
paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel
itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk
mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah
padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah.
Di saat
penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian
hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan
makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.
Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja
rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima
rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di
malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya
rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu.
Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin
hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit
itu makin berkurang.
Ia ingin
mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu
malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak
jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga
gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri
itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk
melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang
saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said
tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika
ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga
orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab
untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk
itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru
pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus
kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh
keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
Raden Said selanjutnya?
Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil
rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang
menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada
saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang
pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta
pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa
dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng
Raden Said juga.
Pada suatu
malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar
jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera
mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said
kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin
mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said
mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah
kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan
topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia
sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said
berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil
melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu,
penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah
si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan
menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan
senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa
yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi
terbungkam.
Sama sekali
tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri
yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan
saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala
desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa Raden
Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja
sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa
sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said
diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari
Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri!
Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding
istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau
baca di malam hari!”
Sang Adipati
Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata
telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang
Adipati.
Hanya ada
satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi
Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa
bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi
Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa
sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu
hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh
Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat
yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih
itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat
itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh
tersungkur.
Dengan susah
payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada
suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu
bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya,
memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata
kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu
kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian
pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat
secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian
dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
Raden Said
makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam
lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya
sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada
lelaki berjubah putih itu.
“Banyak
hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat
saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan
dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para
penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat
meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau
kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah
maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata
demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon
itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman
yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi,
setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas.
Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran
dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga
mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama
beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba
memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan
itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden
Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia
sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau
seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang
berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ucapan orang
tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang
haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang
berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said
mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan
di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan
sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
Lelaki itu
kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan
menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu
kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon
gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin
saja golongan para wali.
Setelah
lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila
dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi
sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga
tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden
Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda
itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden
Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke
Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu adalah Sunan
Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan
tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said
terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga
artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan
yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga
yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya
sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat
atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama,
membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said
kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang
mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan
sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang
dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan
identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan
saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan
pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama
ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden
Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir
anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak
yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban.
Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat
tinggal Sunan Bonang.
Untuk
mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan
ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya
dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden
Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana
Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya.
Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia
kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa
bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri
yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden
Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan
Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi
Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said
meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa
Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam
berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah
Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat
menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap
Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah.
Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati
Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai
seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai
seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena
mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar
setiap pagi.
Ia pandai
mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan,
permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu
sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya
banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat
di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu
kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai
beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas
Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah
seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak
maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk
santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika
di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak
terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah
seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu
sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya
dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual
rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya
penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang lebih
pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki
Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.
Ki
Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang
sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin
orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”.
Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng
di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si
penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki
Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu
sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama
Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja
sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai
Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta
itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi
orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa
menghalalkan segala cara!”
“Pak
tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai
penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu,
anak istrimu tercukupi?”
“Soal
harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang
diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul
hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh!
Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu!
Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya
berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman
seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan
tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan
ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua
orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata
duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari
lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Ki
Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki
ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput.
Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul
lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau
begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai
teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid
dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang
berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali
hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus
meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau
laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku
adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu
bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang
telah dihukum mati”.
Mendengar
nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk
menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan
matanya.
Ki
Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit
sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang
memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang.
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus
untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar
zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia
menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan
ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya
terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di
Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah,
kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta
hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.
Keduanya
lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat.
Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya
berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam
lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki
Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena
ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya,
Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya
dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan
setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara
Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil
suaminya yang berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya
Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget
mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat
dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai
Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki
Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki
Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”
jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas
tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya
karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”,
jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan
membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi
tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.
Ki
Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil
terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih
mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”
Aneh,
seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau
kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki
Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat
air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia
melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”,
pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan
menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada
saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki
Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia
normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus
dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah
bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di
atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali
seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan
itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu
hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk
bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud
semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang
mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat
dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar
Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya
mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan
kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan
gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan
Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk
menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena
dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi
wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah,
diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang
pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar.
Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi,
karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat
tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani
para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa pikir
panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan
tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak
orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang
masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang
membeli kue srabi.
Setelah tahu
bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual
kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual
kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
6. Sunan Kudus
Asal-usul
Menurut
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar
Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang
Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa,
disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro
yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit.
Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu
Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai
senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya
sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan
Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan
Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa
dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan
bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat
merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin
lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan
oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli
kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari
negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng
Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang
beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan
dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing
cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah
daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai
Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam,
melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang
datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far
Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina
itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina
yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita.
Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di
masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan
masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus
termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
- Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
- Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
- Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi
dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah
tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka
disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu
hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat
lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa
para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman
rumah Sunan Kudus.
Rakyat Kudus
yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para
Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan
Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan
justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan
Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo
singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama
Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya
melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di
waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya,
hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka
menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada
jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang
penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua
dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat
makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu
lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk
mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu,
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab
dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah
masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan
pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca
Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha
“Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya
itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa
Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di
kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni,
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam
bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila
anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan
supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh
dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan
bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf,
dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu
sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat
Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang
Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat
pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua
masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di
tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu
dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga
bulan.
Sebelum
masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum
terbina.
Maka pada
kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid,
hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi
undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan
materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan
perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah
terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri
ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya,
yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan
lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak,
karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat
tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk
mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui
ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu
berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada
wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak
orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau
Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut
dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya
mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda
telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga
doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq
lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab
telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras
secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia
hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di
pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota
Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para
Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah
di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu.
Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq
pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi sampai
pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk
penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa,
apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada
harimaunya.
Dengan
senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang
santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
Tetua desa
itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam itu
dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan
perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih
dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu
udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki
berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung
desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil
mengeluarkan suara khasnya.
Adanya suara
burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia
yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal
mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan
berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari
belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada
beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah
sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang
memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.
Adipati
Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama
Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal
dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo
Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur
faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi
Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup
wajar sebagai petani biasa.
Sungguh
mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke
penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak
Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan.
Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap
tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena itu
Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng
Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah
dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan
mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan
kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat
apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri
Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku
tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua orang
utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki
Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’
dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun
menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika
hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng
Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera
lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri
pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”.
Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik
seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di
Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang
utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus
Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki Wanapala
adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri.
Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering
datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai
pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki Wanapala
tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa
yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi
tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun ketika
tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat
para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali
ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus
yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu
terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan
keempat lagi.
Walaupun
Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya
menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar
memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri
desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga tahun
memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah
menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami
kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus
lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia
kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau
tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus
pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia
kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani.
Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki
Ageng Pengging.
Hal ini
disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan
memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng
Pengging ini.
Suasana
Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang
pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten
tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu
kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti
rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus
memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia
sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia
yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan
oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang
dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul
bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak
mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di depan
pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya.
Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya
untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”.
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang
dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan Kudus
dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan
minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu
Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai
Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau
pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan
Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga
diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”, kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban itu
bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya
maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus
ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui
Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya
pemberontak!
Bahwa Ki
Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum
mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng
Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah
meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau
anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau
anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku
keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau
anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop sudah!
Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang
berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah
bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti
Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus
juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun
juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging
dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi
itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati
tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan
mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”,
ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya.
Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng
Pengging.
Sunan Kudus
kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut
oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak
Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan
jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang
tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya
dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar
Sunan Kudus.
200 orang
bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging
mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari
kejauhan.
Sunan Kudus
berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan
prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging
mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di
sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap.
Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka
seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan
turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan
selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu
berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak
ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara Sunan
Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu
seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang
Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam
kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang
Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke
rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus
dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita Ki
Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian.
Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng
Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah
yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau
Pajang.
7. Sunan Drajad
Asal-usul
Nama asli
Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.
Raden Qosim
yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di
sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban
dan Gresik.
Raden Qosim
mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di
tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau
tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur.
Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum
menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia
akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan
seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang
punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim
sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima
kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu
maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan
ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu
beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana,
yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan talang
itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa
Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran.
Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias,
lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan
Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa
Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru
kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1
kilometer, di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun
kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat
berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem
Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun
Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat
Museum tersebut.
Raden Qosim
adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya,
dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan
Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut
jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan
lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur
dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah.
Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi
penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga
sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan
sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh
(buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan).
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau
belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang
yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun
dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing.
Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di samping
terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau
juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta mendukung
dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di bidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali
yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut
masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim,
diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit
yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu
tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan
Allah swt.
8. Sunan Muria
Asal-usul
Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus,
ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran
dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula
yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah,
jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para
pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa
Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam
kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah
putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena
ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu
hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang
genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan
Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri.
Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu
berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan
bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan
Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi
seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan
gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja
Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku
kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas
disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya
sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak
menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun
semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa
gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari
tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari
jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan
Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat
memejamkan matanya.
Pathak Warak
kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono.
Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam
hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak
Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi
Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka
beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke
Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak
Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi, di
tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir.
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan
Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang
lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria
merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng
Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami
hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih
penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria
akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus
menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha
mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati
Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan
tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam
beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah
dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh,
tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria
kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira
oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur
bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria
mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi
Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan
Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba
berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi
Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak
terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa
dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat
untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran.
Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya
Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat
Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di
malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian
ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep,
semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang
ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik
dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat
yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini
biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain
bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama
lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan
agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan
menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk
agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan
Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat
istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan
tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata,
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa
mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka
ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana
pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan
dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam usia
masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk
untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang
masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud
pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu
kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang
Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai
untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan.
Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im
minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah
saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak
mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain
seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina
makin erat.
Bahkan Sunan
Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar
Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari
dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar
ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal
ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia
perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali
putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid Agung
Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu
Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu
melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli
yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang
persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah
Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah
Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri
sudah semakin terhimpit.
Pada tahun
1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi
incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu
bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden
Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang
Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang
kuat dim Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman
lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Pada tahun
1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis
di Sunda Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati?
Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya
sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka,
tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu
sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan
Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak
yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan
karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama
Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini
menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah
kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih
lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di
Jawa Barat.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku
Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika
usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya
yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar
Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut
Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya.
Kedudukan
Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar
Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah
menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan
Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun.
Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah
dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan,
tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan Cina
sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana
Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu
pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping
itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan
gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang
mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah
dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima
waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang
sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan
Cina.
Di negeri
Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini
sudah masuk Islam.
Pada suatu
ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti
Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati
berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut
versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam,
beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di
rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali,
sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Kemudian
Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai
Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur
dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.
Ketika
beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak
lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga
sampai ke negeri Cina.
Di negeri
Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat
disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka
sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse
atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
Kabar adanya
tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan
Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian
Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama
seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang
Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun
perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil.
Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga
nampak seperti orang yang belum hamil.
“Hai tabib!
Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam
sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam?
Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!” jawab
Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan.
Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula
seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar.
Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit
keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah!
Saya benar-benar hamil!”
Maka
gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien
telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu
benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar
munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan
Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun
Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati
maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan
Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar Hong
Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau
Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga
lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal
oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri
negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah
seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
Dalam
pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka
merasa heran.
“Ada apa
ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua
masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya
sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di
atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana
Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang
bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan
Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari
penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa.
Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam
kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa
sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya
Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar.
Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah
berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau
Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang
ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke
Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia
menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat
sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang
meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama
kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan
lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal
dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara
itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai
di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang
berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri
Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang
pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda
berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa
heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya.
Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.
Sumber : wikipedia, telukbone.id