Selasa, 12 April 2016

Sejarah Arung Palakka


Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.

Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)

2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)

3.Latenri Girang (putra)

4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)

5.Da Emba (putri), dan

6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :

1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan

2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.

Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua

Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;

2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);

3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;

4. Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.

Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

Situasi Tahun 1646

Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut. Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-bangsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya.

Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.

Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.

Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mario alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.

Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.

Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.

Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.

Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.

Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.

Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.

Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.

Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.

Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).

Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka.

Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu.

Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.

Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.

Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.

Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)

Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.

Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.

Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung. Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.

Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.

Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah. Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu.

Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.

Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut.
Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri. (Sumber : Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan samapai tahun 1905).
(Teluk Bone)

Sumber : https://www.facebook.com/notes/kab-bone-bumi-arung-palakka/sejarah-arung-palakka/46108161099/

Senin, 11 April 2016

SEJARAH KABUPATEN BONE






Kecamatan di Kab. Bone

  • Bontocani
  • Kahu
  • Kajuara
  • Salomekko
  • Tonra
  • Patimpeng
  • Libureng
  • Mare
  • Sibulue
  • Cina
  • Barebbo
  • Ponre
  • Lappariaja
  • Lamuru
  • Tellu Limpoe
  • Bengo
  • Ulaweng
  • Palakka
  • Awangpone
  • Tellu Siattinge
  • Amali
  • Ajangale
  • Dua Boccoe
  • Cenrana
  • Tanete Riattang Barat
  • Tanete Riattang
  • Tanete Riaattang Timur
    Sejarah kabupaten bone


    Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang dalam catatan sejarah didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala, pertengahan abad ke-17 (A. Sultan Kasim,2002). Kebesaran kerajaan Bone tersebut dapat memberi pelajaran dan hikmah yang memadai bagi masyarakat Bone saat ini dalam rangka menjawab dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi, pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global.
    Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat Bone dalam upaya menata kehidupan kearah yang lebih baik.

    Ketiga hal yang dimaksud adalah :
    1. Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik dan tata pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut “ade pitue”, yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan. Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan Kajaolaliddong seorang cerdik cendikia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586 yang pernah disampaikan kepada Raja Bone seperti yang dikemukakan oleh Wiwiek P . Yoesoep (1982) bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan yaitu:
    • Seuwani, Temmatinroi matanna Arung MangkauE mitai munrinna gauE (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
    • Maduanna, Maccapi Arung MangkauE duppai ada’ (Raja harus pintar menjawab kata-kata).
    • Matellunna, Maccapi Arung MangkauE mpinru ada’ (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
    • Maeppa’na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).

    Pesan Kajaolaliddong ini antara lain dapat diinterpretasikan ke dalam pemaknaan yang mendalam bagi seorang raja betapa pentingnya perasaan, pikiran dan kehendak rakyat dipahami dan disikapi.

    2. Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari sejarah Bone terletak pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun negeri agar menjadi lebih baik. Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone dimasa lalu. Dan sebagai bentuk monumental dari pandangan ini di kenal dalam sejarah akan perjanjian dan ikrar bersama kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng yang melahirkan TELLUM POCCOE atau dengan sebutan lain “LaMumpatue Ri Timurung” yang dimaksudkan sebagai upaya memperkuat posisi kerajaan dalam menghadapi tantangan dari luar.
    3. Kemudian pelajaran dan hikmah yang ketiga dapat dipetik dari sejarah kerajaan Bone adalah warisan budaya kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu.


    Banyak refrensi yang bisa dipetik dari sari pati ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahan dan dinamikanya. Demikian halnya (kabupaten Bone) potensi yang besar yang dimiliki, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pariwisata dan potensi lainnya.

    Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.

    Obyek sejarah di Kabupaten bone
  • Museum Lapawawoi, Museum ini berada di kecamatan Tanete Riattang, dengan jumlah tenaga kerja 2 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 126 wisatawan nusantara dan 4 wisatawan mancanegara.
  • Bola Soba, Bola Soba berada di kecamatan Tanete Riattang, dengan jumlah tenaga kerja 3 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 203 wisatawan nusantara dan 5 wisatawan mancanegara.
  • Bukit Manurunge, Bukit ini berada di kecamatan Tanete Riattang, ri Matajang dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 41 wisatawan nusantara.        
  • Tanah Bangkalae, Tanah Bangkalae berada di kecamatan Tanete Riattang, dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 52 wisatawan nusantara dan 2 wisatawan mancanegara.
  • Kompleks Makam, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Kalokkoe dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 24 wisatawan nusantara.    
  • Tempat Manurunge, Tempat ini berada di kecamatan Tanete Riattang ri Toro Timur.    
  • Bubung Tello, Bubung/sumur ini berada di kecamatan Tanete Riattang.
  • Mesjid Tua, Mesjid ini berada di kecamatan Tanete Riattang. 
  • Komp. Makam Mesjid, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang. Tua Lalebata    
  • Makam Laummasa, Makam ini berada di kecamatan Tanete Riattang Panre Bessi     
  • Kuburan Petta Bettae,   Kuburan ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat, dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret 2007 telah dikunjungi oleh 11 wisatawan nusantara.
  • Sungai Jeppe’e, Sungai ini berada di kecamatan Tanete Riattang Barat.
  • Bubung Paranie, Bubung/sumur ini berada di desa Lemo Ape kecamatan Palakka.
  • Komp. Makam, Makam ini berada di desa Matuju kecamatan Ponggawae Awangpone    
  • Bubung Assingireng, Bubung/sumur ini berada di desa Unra kecamatan Awangpone.
  • Makam Petta Makkarame, Makam berada di desa Manera kecamatan Salomekko.
  • Makam Laparu, Makam ini berada di desa Nagauleng kecamatan Matannatikka  Cenrana, Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 452 wisatawan nusantara.
  • Makam Laoleo Boto’e, Makam ini berada di desa Itterung kecamatan Tellu Siattinge. 
    Tugu Malamung patu, Tugu ini berada di desaTelle kecamatan Ajangale 
  • Makam Raja-Raja, Makam ini berada di desa lalebata kecamata Watang Lamuru dengan jumlah tenaga kerja 1 orang. Pada tahun 2007 Januari-Maret telah dikunjungi oleh 257 wisatawan nusantara dan 4 wisatawan mancanegara.
  • Makam Datu Salomekko, Musium ini berada di desa Balange kecamatan Salo Mekko Obyek Wisata Alam     

    Keragaman Pesona Wisata di Kabupaten Bone 

    Keragaman obyek wisata yang terdapat di Kabupaten Bone, merupakan aset terbesar yang selalu menjadi daya tarik khusus buat wisatawan domestik mau pun mancanegara, untuk bertandang ke Bone.

    Sejarah mencatat bahwa Kabupaten Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang dalam catatan sejarah didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala, pertengahan abad ke-17. Bukti sejarah tersebut dapat dilihat dari berdirinya tugu perkasa dari Arung Palakka di tengah-tengah Kota Watampone.

    Kebesaran dan kejayaan kerajaan Bone di masa lalu, kini dibarengi dengan keragaman dan keindahan pesona wisatanya yang ada di masa sekarang. Baik itu keragaman wisata sejarahnya, wisata budaya, mau pun wisata alamnya. Yang memberikan dan menawarkan pesona daya tarik khusus pada obyek.

    Bertandang ke Kabupaten Bone tidak akan membuat Anda bosan. Karena ragam sajian obyek-obyek wisata yang cukup menarik, membuat Anda dapat menikmati waktu libur atau refresing bareng keluarga. Seperti halnya ada wisata Budaya, yang menyuguhkanRumah Adat Bugis (Bola Somba) di Watampone,  Museum Saoraja Lapawawoi Kr. Sigeri di Watampone, Makam Raja-Raja Bone di Bukaka Watampone, dan Makam Raja-raja di Lalebata Lamuru.

    Ada juga wisata Alam nan Bersejarah, seperti wisata Goa Mampu di Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE,  Goa Janci di Desa Mallari Kecamatan Awangpone dan Tempat Peraduan Arung Palakka dalam Goa di Kecamatan Awangpone.

    Tidak lupa juga ada wisata Alam, yang siap menanti kedatangan Anda, dengan menyuguhkan obyek wisata Tanjung Pallette di Kecamatan Tanete Riattang Timur Desa Gareccing di Kecamatan Tonra, Pantai Cappa Ujung di Kecamatan SibuluE , Permandian Bonto Jai di Kecamatan Bontocani, Permandian AlingE di Kecamatan Ulaweng, Permandian Lanca di Kecamatan TellusiattingE, Air Panas Saweng di Kecamatan Ponre, Bendungan Salomekko di Kecamatan Salomekko dan Taretta, di Kecamatan Amali. Semua obyek wisata yang terurai di atas menjadi satu aset kekayaan yang sangat bernilai dalam kemajuan pariwisata di Kabupaten
    Bone.

    Beberapa Obyek wisata Unggulan di Kabupaten Bone

    Bola Soba
    Jika ingin mengenal Kabupaten Bone lebih dalam, tak ada salahnya juga Anda mengenal wisata Bola Soba. Obyek wisata ini menyerupai rumah bersejarah, tempat dimana pemimpin perang yang bernama Petta Punggawa pernah tinggal. Rumah ini masih dilestarikan dan dipelihara dengan serius. Pada even-even besar, disekeliling Bola Soba sering di jadikan sebagai tempat penyelenggaraan beberapa tradisi lama yang masih dengan kuat dilaksanakan. Seperti pencak, massempe, malancca, ma’pere, serewa, sirau sulo dan tari-tarian lain. Obyek ini berada di Kelurahan Manurunge, Kecamatan Tatene Raittang. Untuk Masuk ke obyek ini, tidak dikenakan retribusi sama sekali alis gratis.

    Pantai Tanjung Palette 
    Pantai Tanjung Palette merupakan obyek unggulan Kabupaten Bone, yang tidak pernah sepi dari kunjungi, utamanya saat liburan tiba. Sebagai obyek yang termasyhur dengan air lautnya yang biru, Pantai Tanjung Palette juga dilengkapi berbagai fasilitas pendukung, yang akan membuat pengunjung beta berlama-lama di kawasan wisata ini. Fasilitas tersebut seperti kolam permandian buat anak dan dewasa, lapangan tennis, area memancing, rumah penginapan, serta masih banyak lagi fasilitas lainnya, yang tentu saja diperuntukkan buat pengunjung. Kawasan wisata ini, masuk dalam wilayah Kecamatan Tanete Riattang Desa Pallette, dengan jarak tempuh dari Kota Bone, sekitar 33 kilometer dari arah selatan, atau sekitar 35 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi. Tarif ke obyek ini Rp 3000 (Dewasa) dan Rp 2000 (Anak-anak).

    Museum Lapawawoi
    Di Museum ini Anda dapat melihat berbagai benda-benda peninggalan kerajaan Bone, yang dapat Anda jadikan referensi dalam menambah wawasan dan pengetahuan Anda tentang sejarah keberadaan sebuah kerajaan yang pernah berjaya di Indonesia, khususnya di KTI. Juga ada beberapa benda-benda peninggalan dari Arung Palakka. Seperti keris, tombak, patung, pakaian kerajaan, baju-baju adat, potongan rambut Arung Palakka, dan foto-foto beserta silsilah keturunan raja-raja Bone.

    Wisata Gua Mampu
    Mengunjungi Kabupaten Bone, tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke Gua Mampu. Gua Mampu merupakan gua terbesar dan terluas dari sekian banyaknya gua yang ada di Sulsel. Obyek ini berada di Desa Cabbeng, Kecamatan DuaboccoE, atau sekitar ± 45 km dari pusat kota Watampone. Di dalam gua terdapat sejumlah rupa bebatuan satalaktid dan stalakmid. Dan konon Gua yang menawarkan keindahan panorama ini, memiliki legenda yang cukup tragis. Di mana legenda tersebut dikenal dengan Legenda Kutukan Mampu, yaitu kutukan yang menimpa kerajaan mampu. Akibatnya kutukan itu, penduduk dan hewan yang berada di dalam wilayah kerajaan Mampu seluruhnya menjadi Batu. Perwujudan dari Legenda ini, dapat Anda saksikan lewat sejumlah perwujudan bentuk bebatuan, yang menyerupai mahluk-mahluk hidup yang terdapat di dalam gua. Memasuki obyek ini, Anda diwajibkan membayar ritribusi sebesar Rp 2000, untuk Dewasan dan Rp 1000, untuk Anak.

    Wisata Air Terjun Ulu Pere 
    Obyek wisata satu ini memiliki keindahan yang sangat eksotik, tidak kalah dengan tempat-tempat wisata lainnya yang ada di daerah Bone. Pengunjung yang bertandang ke sini, akan disuguhi panorama alamnya yang begitu memukau, lewat deretan air terjunnya yang bertingkat-tingkat, menyerupai deretan sarah yang ada di kaki bukit. Keadaan tersebut, seakan membawah kita sejenak menghayati jika anugerah yang Tuhan berikan di suatu wilayah berupa kekayaan alam, benar-benar cukup bernilai. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pemberdayaan kekayaan alam, haruslah dipelihara sebaik-baiknya, tanpa harus merusaknya dengan berbagai alasan. Dan yang utama harus selalu diberdayakan dan dipelihara dengan baik. Selain keindahan panoramanya, Air terjun Ulu Pere, juga memiliki kejernihan dan segar air yang tidak tertandingi. Dan banyak masyarakat sekitarnya memanfaatkan air tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti dikonsumsi untuk minum. Di sekitar kawasan obyek, juga terhempas deretan perkebunan cengkeh dan sejumlah pepohonan jati dan kapas. Untuk menuju ke lokasi obyek, jarak tempuh yang akan Anda lalui, sekitar 107 Km dari Ibu Kota Kabupaten Bone, karena area obyek berada di Kecamatan Bontocaini dan untuk masuk, tidak dikenakan ke pengunjung.

Sumber : http://x-treme-smadas.blogspot.com/2013/05/sejarah-kabupaten-bone.html