Jumat, 21 September 2012

Dubes AS Akan Datangi PKS Bahas Film 'Innocence of Muslims'


JAKARTA, KOMPAS.com — Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Scot Marciel akan mendatangi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (21/9/2042). Kedatangan Scot untuk membahas kontroversi film Innocence of Muslims.
Hal itu disampaikan oleh Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 13 Pilkada DKI Jakarta, di Kemang Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (20/9/2012).
"Besok siang, jam setengah 10, Duta Besar Amerika Serikat akan datang ke Fraksi PKS di DPR untuk kita mendialogkan tentang masalah film Innocence of Muslims itu yang menghadirkan beragam kegaduhan di tingkat internasional," kata Hidayat yang baru saja diangkat sebagai Ketua Fraksi PKS DPR itu.
Menurutnya, film produksi AS yang beredar di YouTube itu justru merugikan AS. Tak hanya di Indonesia, film ini menuai protes di berbagai negara, seperti Mesir dan Libya. Di Libya, aksi anarkistis bahkan terjadi hingga menewaskan empat warga AS, termasuk Dubes AS untuk Libya, Christopher Stevens.
"Jadi, ini harus ada pemahaman di Amerika, justru mereka sangat dirugikan dengan hadirnya film yang dibuat di negeri mereka. Karenanya, harusnya AS justru berada di garis terdepan untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan dibiarkan kemudian jadi masalah merugikan kepentingan Amerika," ujar mantan calon Gubernur DKI Jakarta 2012 ini.
Editor :
Aloysius Gonsaga Angi Ebo

Usman: 'Innocence of Muslims', Wujud Intoleransi


TRIBUNNEWS/HERUDINPengunjuk rasa dari Forum Umat Islam (FUI) bentrok dengan aparat kepolisian di depan Kedubes Amerika Serikat Jakarta Pusat, Senin (17/9/2012). Unjuk rasa memprotes film yang dinilai melecehkan Islam berjudul The Innocence of Muslims yang dibuat di Amerika Serikat.

JAKARTA, KOMPAS.com
 — Pendiri Institut Kebajikan Publik dan aktivis change.org, Usman Hamid, menilai film Innocence of Muslims adalah bentuk intoleransi yang paling buruk. Film tersebut sama sekali tidak memenuhi standar sebuah film dan dibuat hanya untuk meruntuhkan wujud toleransi antarumat beragama yang telah dijalin dengan baik dalam pergaulan antarbangsa.
"Tidak ada toleransi untuk intoleransi. Film Itu menjurus pada bentuk sikap intoleransi yang paling buruk dari yang pernah ada," ujar Usman kepadaKompas.com, Jakarta, Jumat (21/9/2012).
Usman menjelaskan, Pemerintah Amerika Serikat mengambil sikap yang tegas. AS harus mengkaji ulang kebijakan mengenai kebebasan berekspersi. Pasalnya, film ini memicu ekses di sejumlah negara Muslim, seperti Mesir dan Libya, serta berujung pada kematian seorang duta besar Amerika Serikat.
Dia mengungkapkan, selama ini Amerika Serikat masih mereservasi ketentuan Pasal 21 ICCPR mengenai pembatasan atau limitasi kebebasan berekspresi. Reservasi, lanjutnya, adalah kebijakan di mana sebuah pemerintahan menyatakan bahwa dirinya tak terikat pada sebuah aturan. Sebab itu, dapat dijelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak terikat dengan Pasal 21 ICCPR yang bertujuan untuk meminimalkan sikap intoleransi.
"Pasal 21 itu isinya adalah larangan terhadap ekspresi advokasi yang berdimensi kekerasan ataupun diskriminasi berdasarkan kebencian ras, etnis, nasionalisme, dan agama," ungkapnya.
Dia kemudian mencontohkan Pemerintah Inggris yang melarang politisi Belanda, Geert Wilder, pembuat film Fitna, masuk ke wilayah Inggris. Menurutnya, sikap dari Pemerintah Inggris tersebut sudah benar, yaitu mengambil jalan tidak ada toleransi untuk intoleransi. Dia menegaskan, Pemerintah Indonesia sebagai negara dengan pemeluk Muslim terbesar dapat berbuat banyak lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengajukan nota keberatan atas sikap reservasi Amerika Serikat.

Penulis : Aditya Revianur
Editor :
Hindra