Detik-detik Rumpa’na Bone
Pendahuluan
Lapawawoi
Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31 bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang
populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang
Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan
lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria
yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Pendaratan
tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung
Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), Lapawawoi Karaeng Sigeri menyatakan perang
diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh
keberanian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dukungan dari anggota
Ade’ Pitu (Adat Tujuh) yaitu legislasi kerajaan Bone serta seluruh pimpinan
Laskar Kerajaan Bone.
Di
bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, Belanda melakukan
serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun
mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi
persenjataan tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil
memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri
bersama Petta Ponggawae dan seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905
tentara Belanda berhasil merebut Saoraja / Bola Soba (Istana Raja) di Watampone
dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Selama
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November ) Lapawawoi Karaeng Sigeri
bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini
dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat
senantiasa dapat melakukan kontak dan koordinasi dengannya. Adapun pusat-pusat
pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain : Palakka,
Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan
yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di
perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Dalam
kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran serdadu Belanda juga semakin
gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone mengubah taktik perangnya dari perlawanan frontal
menjadi perang gerilya. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengkoodinir
laskar-laskar kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama
Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando
Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone
semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahanannya.
Perlawanan
Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda tahun 1905 dikenal dengan nama
RUMPA’NA BONE ( Bobolnya Pertahanan Bone). Sedang pihak Belanda menyebutnya
sebagai AKSI MILITER BELANDA TERHADAP BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari
pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung
Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal
ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Benteng Pertahanan Bone). Maka dengan
gugurnya Petta Ponggawae sebagai Pahlawan Tana Sumnage (Tana Bone), maka
Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone
telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE.
Tak
dapat disangkal, bahwa ada segelintir kalangan yang melihat secara apriori
peristiwa Rumpa’na Bone sebagai lembaran kelabu dalam sejarah perlawanan Rakyat
Bone dalam menghadapi serangan serdadu Belanda. Kalangan tersebut beralasan
bahwa, peristiwa Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya Panglima Perang
Kerajaan Bone (Petta Ponggawae) dan tertangkapnya Raja Bone (Lapawawoi Karaeng
Sigeri) oleh tentara Belanda, menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan Rakyat
Bone melawan penjajah ?
Namun
sebagian besar kalangan mengatakan, bahwa peristiwa Rumpa’na Bone yang diawali
dengan perlawanan yang cukup sengit yang ditandai gugurnya ribuan laskar Bone
adalah sebuah peristiwa heroik yang jarang ditemukan tandingannya. Langkah yang
ditempuh oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Petta Ponggawae (Abdul
hamid Baso Pagilingi) selaku Panglima Perang merupakan langkah patriotis yang
cukup berani hingga rela meregang nyawa demi Tana Bone.
Kalau
bukan karena jiwa patriotis, Lapawawoi Karaeng Sigeri selaku tokoh sentral
perlawanan Rakyat Bone pada masa itu melawan tentara Belanda, mungkin ceritanya
menjadi lain. Apakah menerima tawaran kerjasama dengan Belanda yang berarti
membiarkan Komponi Belanda menjajah Kerajaan Bone?. Namun yang pasti hal itu
tak mungkin terjadi, karena ribuan Laskar Kerajaan Bone yang terkapar bersimbah
darah di sepanjang pantai Bajoe. Para suhada Bugis tersebut didorong oleh SIRI NA PESSE (Malu dan Harga Diri) untuk
mempertahankan tanah tumpah daerahnya dari penjajahan Belanda.
Dalam
kenyataannya memang harus diakui, bahwa persenjataan Belanda yang lengkap
ditunjang dengan ketangguhan personil militernya jauh berada di atas bila
dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh Laskar Kerajaan Bone.
Tetapi ketika kita mengenang kisah perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap
Belanda yang pada akhirnya Petta Ponggawae Gugur dan Lapawawoi Karaeng Sigeri
sendiri tertawan, maka seyogianya patut dikenang dan direnungkan oleh generasi
berikutnya. Apa bentuk apresiasi generasi terhadap para pejuang-pejuang Tana
Sumange?
Detik-detik Rumpa’na Bone
Balada Heroik Lapawawoi Karaeng Sigeri
Adalah
seorang Raja Bugis dari Tana Sumange melawan Belanda si Mata Pute. Dengan
semangat patriotik membara, dan jiwa kesatria yang mendidih, didorong oleh Toddo’ Siri, na pesse’. Terkenang dan terlukis indah di lembaran
sejarah. Terpatri abadi di hati Rakyat Bone . Dari generasi ke generasi
selanjutnya. Sebagai bukti keteguhan hati nurani. Orang Bugis berdarah Wija To
Bone
Beliau
adalah Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31. Bersama putranya yang gagah perkasa Andi
Abdul Hamid Baso Pagilingi. Panglima Perang Kerajaan Bone. Didukung oleh hadat
Tujuh Bone. Dan Seluruh pimpinan Laskar pemberani. Arungpone Lapawawoi Karaeng
Sigeri. Mengangkat senjata melawan penjajah. Hingga tetes darah penghabisan.
Dalam
sejarah Bone disebutkan. Awal pecahnya perang yang dahsyat. Di pantai Timur
Celebes Selatan. Di Pagi yang sejuk pada bulan Juli 1905. Ketika matahari mulai
merekah. Di ufuk timur tiada berawan. Memancarkan cahaya indah keemasan.
Menyepuh seantero Kerajaan Bone. Begitu indah ciptaan sang Khalik. Di Baruga Saoraja Bone nawala-wala suji ri Langkana nan
asri. Lapawawoi Karaeng Sigeri dan permaisuri. Duduk tenang di atas Tappere
Boddong. Tikar bersegi Enam Rituddukeng Lamangolokkelling Cempanigae. Diapit
Pattetteng dan Jiwa pemberani.
Di
bawah nuangan Teddung Pulaweng dan bendera Kerajaan SamparajaE. Arungpone
bersama permaisuri. Dihibur Tari Pajoge dan lagu Ongkona Bone oleh Bissu
pengawal setia Saoraja. Gendang dipukul bertalu-talu. Lagu berdendang begitu
syahdu. Lemah gemulai penari bisu. Indah nian menyejukkan hati. Mengikuti irama
klasik Tana Ugi. Di hati Arungpone dan
permaisuri. Timbul kekaguman yang sangat mendalam. Betapa tinggi budaya
Leluhur. Warisan Kerajaan Bone di Tanah Ugi. Kembanggaan SEMPUGI di Celebes
Selatan.
Langit
Kerajaan Bone pagi itu. Nampak cerah diliputi udara sejuk. Tak terbayang akan
datang mendung kelabu. Tak terpikir akan munculnya prahara. Yang membuat Tana
Ugi bergolak.m Di atas Singgasana Kerajaan Bone. Arungpone bersama permaisuri.
Nampak tegar dan tenang penuh wibawa. Di wajahnya terbaca gurat kepemimpinan.
Selaku raja yang bijak dan berhati jernih. Seorang Pengawal datang melapor.
Atas datangnya utusan Arung Tanete. Untuk menyampaikan suatu berita. Dari Hasil
pengamatan di sepanjang pantai. Antara Ujung Pattiro-Ujung Pallette.
Kemeriahan
pun seperti tersentak. Bunyi gendang, suling, dan kecapi. Semua berhenti tak
lagi terdengar. Gerak gemulai penari-penari Bissu. Nampak terkulai seperti lesu
dan kaku. Keluarga Saoraja diliputi kecemasan. Di wajah permaisuri terbaca
kebingungan. Kecuali Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Kelihatan tetap tegar
dan sangat tenang. Menanti berita dari utusan Arung Tanete.
Hasil
pengamatan Arung Tanete. Di sana di Perairan Teluk Bone. Kelihatan banyak kapal
beriring-iring. Berlayar dari selatan menuju utara. Semakin dekat di Pantai
Bajoe. Mendengar itu, Arungpone tertunduk. Lalu bangkit menganggukkan kepala.
Menyimak dalam lubuk hatinya. Akan makna laporan dari Arung Tanete. Entah
gejolak apa yang timbul di benaknya. Tatapan matanya menerawang jauh.
Memandangi cakrawala tak terbatas.. Ada kemelut yang sulit dipecahkannya.
Menimbulkan seribu tanda tanya. Di hati permaisuri dan keluarga Saoraja.
Dengan
suara datar Arungpone bertutur. Mengungkap misteri laporan Arung Tanete. Bahwa
kapal-kapal yang beriring-iring. Di sana di perairan Teluk Bone Adalah milik
Belanda si Putih Mata. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menitip pesan kepada
Arung Tanete. Agar tetap melakukan pengamatan. Akan maksud kedatangan kapal
Belanda. Yang semakin mendekat di Pantai Bajoe. Sebab menurut pikiran
Arungpone. Belanda selalu berupaya untuk mencaplok dan menjajah. Menanamkan
kuku-kukunya di atas bumi Kerajaan Bone yang subur. Kepada Arung Tanete dan
Rakyatnya. Arumpone minta agar tetap tenang. Menunggu perintah dari Saoraja.
Dari kesepakatan antara Mangkau’E. Dengan segenap anggota Hadat Bone.
Kesepakatan
dan kebulatan tekad. Dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih. Untuk membela
dan mempertahankan. Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyatnya. Dari cengkeraman
tangan-tangan penjajah. Kecemasan dan kegelisahan permaisuri. Nampak jelas di
wajahnya yang bening. Dengan pandangan sayu menatap arungpone. Mengharap
jawaban penyejuk hati. Tentang kedatangan kapal-kapal Belanda. Sementara di
perairan Teluk Bone. Berkumpul eskader kapal perang Belanda. H.M. Hendrik
Hertog pembawa bendera. Diatasnya Komandan Eskader Matra Laut. Mengadakan rapat
dengan Panglima Tempur. .Melalui teropong dari atas kapal. Nampak keindahan
alam Kerajaan Bone. Sawah dan ladang terbentang luas. Pohon lontar dan nyiur
melambai-lambai. Sungai-sungai mengalir dengan jernih. Bukit dan gunung
berhutan lebat. Binatang ternak berlarian kian kemari. Burung-burung
beterbangan di udara. Ombak memutih memecah pantai. Panorama alam indah menawan
hati.
Keindahan
itulah membuat Belanda semakin bernafsu. Untuk segera melakukan pendaratan.
Bagai kelompok singa kelaparan. Mengintai buruannya di balik belukar. Suasana
di Saoraja semakin galau. Seluruh penghuni dicekam kecemasan. Permaisuri
melangkahi mendekati Arungpone yang tetap tegar dan tenang di tempatnya. Selaku
raja yang berpikiran tajam. Dengan suara lembut permaisuri bertanya. Apa betul
kapal-kapal itu milik Belanda. Datang untuk menyerang Kerajaan Bone. Lalu
bagaimana langkah-langkah Arungpone. Dalam mempertahankan dan menyelamatkan
rakyatnya. .Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Membujuk permaisuri yang nampak
gelisah. Menenagkan gejolak dalam hati dan pikirannya. Tawakkal kepada Allah
dan Nabi-Nya. Tellabu Essoe ri Tengngana
Bitarae. Segalanya berjalan menurut kodratnya. Demikian Arungpone membujuk
permaisuri. Dan segenap keluarga penghuni Saoraja. Yang nampak bingung penuh
kecemasan.
Arungpone
tetap yakin dan percaya. Kerajaan Bone sangat kuat dan tangguh. Dengan ribuan
Laskar Pakkanna Passiuno. Yang rela mati berlumuran darah merah. Dari pada
hidup di jajah Belanda. Belanda boleh menerobos pertahanan Bone. Setelah
melangkahi ribuan laskar. Dengan semangat patriotis sejati. Siap bertarung di
Walawala Bessie. Bermandi darah di Appasareng Kannae. Mendung kelabu di atas
kerajaan Bone. Nampak semakin tebal, pekat dan hitam. Pertanda bakal datangnya
malapetaka. Angin puting beliung telah berhembus. Disertai Guntur dan kilat
menyambar-nyambar. .Permaisuri kelihatan semakin gelisah. Arungpone seperti tak
berhenti berpikir. Penghuni Saoraja dicekik ketakutan. Perang bakal berkobar
meminta korban. Tana Ugi sebentar lagi bersimbah darah.
Dalam
suasana yang semakin galau. Seorang lagi pengawal datang melapor. Atas
kedatangan dua orang tamu asing. Karaeng Marusu bersama temannya. Utusan
Belanda dari perairan Teluk Bone Laporan itu mengejutkan permaisuri. Kekesalan
di hatinya terbayang di wajahnya. Meluap bagai nyala api dihembus angin. Dengan
kalimat meledak tak terkendali. Menolak kedatangan utusan Belanda. Bangkit
berdiri Sang Permaisuri. Melepas uneg-uneg yang menggurita. Dalam hatinya yang panas
membara. Agar Karaeng Marusu bersama temannya tidak memasuki halaman Saoraja.
.Arungpone yang bijak berhati lembut. Kembali menenangkan permaisuri. Menyiram
nyala api yang meluap. Agar tidak menampakkan kekesalan kepada karaeng Marusu
bersama teman.
Sementara
itu di pintu Saoraja yang dijaga pengawal. Karaeng Marusu bersama temannya.
Membungkuk memberi penghormatan. Lalu keduanya langsung duduk bersila di depan
Arungpone dan Permaisuri. Dengan kalimat bergetar putus-putus. Karaeng Marusu
kepada arungpone. Bahwa dirinya utusan Komandan Belanda. Yang sekarang berada
di atas kapal. Menunggu kabar di perairan Teluk Bone. Tertegun Lapawawoi
Karaeng Sigeri. Menyimak berita dari utusan Belanda. Berpikir dan berpikir
mencari yang terbaik. Gurat-gurat kewibawaan kembali terbaca di wajahnya yang
nampak semakin menua. Kemudian memandang jauh ke depan. Sejauh analiasa dan
bisikan hatinya. Membayangkan Kerajaan bone yang subur buminya. Membayangkan
wajah-wajah Rakyatnya. Selaku raja yang memiliki firasat. Nalar dan mata batin
yang tajam. Kalimat yang sarat makna filosofi. Arungpone menjawab tawaran
Belanda. Kepada karaeng Marusu bersama temannya. Arungpone menyemak dan
memahami. Kedatangan Belanda di Teluk Bone. Namun tidak bisa bertindak sendiri.
Untuk menerimanya mentah-mentah. Harus didukung oleh Hadat Tujuh Kerajaan Bone.
Dengan
kalimat putus-putus dan ragu. Karaeng Marusu mengajukan pertanyaan. Tentang
sikap dan langkah Arungpone. Menerima atau menolak tawaran Belanda. Karena dia
tidak bisa berlama-lama. Dengan tenang Arungpone menjawab. Di Kerajaan Bone
yang saya cintai ini. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Disebut “ Ade Mappura Onrona Bone” Warisan
Leluhur yang dijunjung tinggi. Apapun yang akan dilakukan di Bone. Harus lahir
dari musyawarah dan mufakat. Antara Mangkau selaku raja disitu pihak. Dan
anggota Hadat Bone dilain pihak. Sebagai wujud demokrasi sejati. Jadi tentang
maksud tawaran Belanda. Arungpone tidak bisa menetukan sekarang. Menunggu hasil
musyawarah dan mufakat. Diterima sebagai awal suatu persahabatan. Atau ditolak
sebagai awal pecahnya perang.
Setelah
mendengarkan pesan Arungpone. Karaeng Marusu dan temannya mohon pamit. Dengan
langkah gontai meninggalkan saoraja. Berjalan ke arah timur menuju Pantai
Bajoe. Dengan hati yang dongkol, kesal dan kecewa. Di Pelabuhan Bajoe keduanya
naik sampan. Menuju kapal S.S.Riemsdijk di Teluk Bone. Di mana Panglima
ekspedisi van Loenen. Dengan perasaan cemas penuh harap. Telah lama menunggu
kedatangannya. Di depan Panglima Ekspedisi Van Loenen. Karaeng Marusu dan
temannya menyampaikan. Pesan yang mengisyaratkan penolakan dari Arungpone
Lapawawoi Karaeng Sigeri. Raja yang mematuhi kehendak rakyatnya. Kabar itu
membuat Van Loenen naik darah. Kehendaknya dilecehkan dan tidak digubris. Wajah
bengis memandang ke arah pantai. Nafsu serakahnya menggerogoti kepikirannya.
Menyerang Bone dengan kekuatan senjata. Suatu ultimatum bernada ancaman.
Ditulisnya dengan emosi meluap-luap. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam.
Kehendak tidak diiyakan dan dipenuhi. Maka Kerajaan Bone segera
dibumihanguskan. Ultimatum Tertanggal 19 Juli 1905. Diberikan kepada La Pattola
Daeng Massappo. Orang Bone yang diinterner di Ujung Pandang. Agar secepatnya
diberikan kepada Arungpone.
Menerima
Ultimatum dan ancaman demikian. Tidak membuat hati Arumpone menjadi gentar.
Sebagai Raja Bugis yang mempunyai harga diri. Darah Bugis dan patriotisnya
mendidih. Bertekad melawan Belanda Si Putih Mata. Baginya tidak ada kata untuk
menyerah. Apalagi tunduk di bawah kekuasaan penjajah. Harga diri sebagai Orang
Bugis Wija To Bone. Toddopuli Siri Napesse harus ditegakkan. Demikian bisikan
yang muncul di hatinya. Segenap Anggota hadat Tujuh diundang. Arung Ponceng,
Arung Tanete Riawang, Arung Macege, Arung Tanete Riattang, Arung Ta’, Arung
Ujung, Arung Tibojong. Agar segera datang berkumpul di Saoraja. Diundang pula
Abdul Hamid Baso Pagilingi. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Bersama
Seluruh pimpinan Laskar Pemberani. Untuk datang memenuhi undangan Arungpone.
Guna menanggapi Ultimatum dari Belanda. Hanya berselang beberapa saat saja.
Semasih daun sirih belum hancur terkunyah. Dan periuk di dapur belum juga
mendidih. Para undangan berdatangan dari segala arah. Semua hadir memenuhi
undangan Arumpone.
Setelah
semuanya tenang di tempat duduk. Arung Ponceng bertanya kepada Arungpone.
Mungkin ada sesuatu yang penting dibicarakan. Sehingga Puatta Arungpone
mengundang kita. Untuk datang dan berkumpul di Saoraja. Sebelum mengemukakan
maksud undangannya. Arungpone menatap satu-satu tamu yang hadir. Tatapannya
mulai dari anggota hadat Tujuh Bone. Sampai kepada Abdul Hamid Baso Pagilingi.
Dan Pimpinan Laskar Pakkanna Passiuno. Dengan suara serak-serak basah.
Lapawawoi Karaeng Sigeri mulai bicara. Sebagai Orang Bugis yang punya harga
diri. Yang menjunjung tinggi Ade- Pangadereng. Kita perlu menyatakan pendapat. Semua
yang hadir nampak semakin gelisah. Menunggu lanjutan pembicaraan Arungpone.
Membuat suasana menjadi hening sejenak. Tak seorangpun yang mengeluarkan kata.
Sementara Permaisuri nampak tertunduk. Dengan tarikan nafas yang panjang.
Arungpone melanjutkan pembicaraan. Tentang datangnya dua orang utusan Belanda.
Mengajak untuk menjalin kerjasama. Mengelola Pelabuhan Pallime dan Bajoe.
Selanjutnya
Belanda akan mempersatukan. Jumpandang, Bone, Luwu, dan Tanah Toraja. Menurut
pikiran Lapawawoi Karaeng Sigeri. Itu merupakan awal dari sebuah jebakan. Untuk
menggiring ke dalam bentuk penjajahan. Dari saku Arungpone ditariknya secarik
kertas. Ultimatum yang diterimanya dari Belanda. Kalau keinginan yang
ditawarkan ditolak. Kerajaan Bone akan diserang dan dihancurkan. Dalam tempo
satu kali duapuluh empat jam. .Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Baso
Pagilingi Petta Ponggawae naik darah. Berdiri dan menghormat kepada Arungpone.
Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Jiwa patriotis, semangat kesatrianya
tergugah. Menurut pandangan mata batinnya. Suatu malapetaka terbayang di
depannya. Kerajaan Bone akan hancur porak-poranda. Seluruh rakyatnya hidup di
bawah penjajahan. Apabila keinginan Belanda itu diterima. kemudian Baso Pagilingi
Petta Ponggawae. Memohon ampun kepada Ayahandanya. Juga kepada Seluruh anggota
Hadat Bone. Agar mempertimbangkan matang-matang. Untuk menerima ajakan dan
tawaran Belanda. Sebab menurut yang muncul di benaknya. Belanda tidak bisa
dipercaya omongannya. Pantang untuk diikuti segala keinginannya. Apalagi
menerima apa yang ditawarkannya. Di hatinya sejali sekalindang sifat penjajah. .Berdiri
menghormat pula Arung Ponceng. Salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone.
Membenarkan ucapan Petta Ponggawe. Diamini oleh anggota hadat Tujuh lainnya.
Menolak tawaran Belanda Si Putih Mata.
Dulung
Ajangale, Lamuru, Awang Tangka, arung Palili dan Pimpinan Laskar pemberani.
Menyatakan siap mengamankan kesepakatan. Arungpone dengan Hadat Tujuh Bone.
Walau harus ditebus dengan harta dan nyawa. Lapawawoi Karaeng Sigeri kecintaan
rakyat. Memandang ke kiri, ke kanan lalu tersenyum. Ini namanya terpaut ujung
dan pangkalnya. Telah bertemu pula buku dan ruasnya. Pedapatnya seirama
pendapat rakyatnya. Dengan gurat-gurat usia yang nampak menua. Arunpone
mengajak semua yang hadir. Menggalang kekuatan menghimpun tenaga. Mengangkat
senjata melawan penjajah. Membela Kerajaan Bone dan rakyatnya. Abdul Hamid Baso
Pagilingi Petta Ponggawae. Selaku Panglima Perang mendapat perintah menghimpun kekuatan.
Untuk menghadapi serangan serdadu Belanda. Mulai Ujung Pattiro hingga Ujung
Pallette. Perintah yang sangat ditunggu-tunggu. Disambutnya dengan mengucapkan
ikrar. Berdiri dan mencabut keris “Raja Bagusu” keris pusakanya yang selalu
menyertainya. Diayunkan ke kiri maupun ke kanan penuh semangat. Matanya merah
menyorot bagai bara api. Bersumpah dan berikrar untuk tetap setia. Membela dan
mempertahankan Kerajaan Bone. Rela mati ditembus peluru penjajah. .Mendengar
ikrar Baso Pagilingi. Semangat Patriotik hadirin seperti tersulut api. Gelora
jiwa kesatria nampak terbaca. Di wajah para pemberani Kerajaan Bone. Arungpone
tenang dan tegar di tempatnya. Tidak ketinggalan pula Arung Tanete. Dengan
sorotan mata menyala-nyala. Memberi hormat kepada Arungpone. Mencabut keris
pusaka kesayangannya. Mengucapkan ikrar menghadapi Belanda.
Darah
kesatria Arung Sailong tergugah. Semangat membara membatu. Diteriakkan dengan
lantang ikrarnya di depan Arungpone dan Permaisuri. Dan Seluruh undangan yang
hadir. Setelah sejumlah Pakkanna Passiuno. Mengucapkan ikrar masing-masing.
Berdirilah Permaisuri dengan tegarnya. Mendekati Baso Pagilingi lalu menepuk
bahunya membakar semangatnya. Berdoa kepada Allah dan Nabi-Nya. Semoga
melindungi dari serangan musuh. Semoga Seluruh Laskar Kerajaan Bone. Diberi
kekuatan dan kemampuan tempur menghadapi Belanda. Setelah diberkahi kedua orang
tuanya. Baso Pagilingi selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Begitu gagah
melangkahi ke depan. Mengarah ke timur menuju medang juang. Diikuti oleh Laskar
Passiuno. Di hatinya hanya dua pilihan. Hidup atau mati demi Tana Ugi. Siri na
Pesse mendorong langkahnya.
Rerumputan
dan bebatuan sepanjang jalan. Seperti memberinya semangat untuk maju. Menantang
keangkuhan serdadu Belanda. Yang kini berada di perairan Teluk Bone. Siap
memuntahkan peluru meriamnya. Di Bawah Komando Petta Ponggawae. Kelompok Laskar
dibagi dalam tiga arah. Kelompok pertama menuju Ujung Pattiro. Kelompok kedua
menuju Lona dan BajoE. Kelompok ketiga menuju Ujung Pallette. Sepanjang jalan yang
dilaluinya. Menuju medan perang yang dahsyat. Para Laskar dengan semangat
menyala. Terus melengkingkan” Osong Pakkanna. “Ada Passokkang” lagu perjuangan.
Bagai lebah beterbangan di udara bebas. Membuatnya tak gentar, nyalinya tak
ciut. Tombak dan kelewang diayun-ayunkan. Pedang dan keris pusaka dihunuskan.
Meriam dan senapan ringan disiagakan. Dari pantai Bajoe hingga Ujung Pallette.
Dan di Ujung Pattiro bahagian selatan. Dipenuhi ribuan Laskar Kerajaan Bone.
Mendengungkan Osong Pakkanna. Siap menghadapi pendaratan Belanda.
Di
atas kapal H.M.Koningin Regentes. Panglima ekspedisi Belanda Van Loenen.
Mengamati tempat yang layak untuk pendaratan. Lewat teropong pengintai dari
atas kapal. Dari Ujung Pattiro ke Ujung Pallette. Pada Tanggal 21 Juli 1905 Kapal-kapal Belanda semakin mendekat. Suatu
pertanda pendaratan akan dilakukan. Sekoci-sekocipun mulai diturunkan. Pukul
05.50 wita ketika matahari menukik ke peraduannya. Van Loenen dari kapal
S.S.Van Riemsdijk. Mengeluarkan perintah pendaratan. Berarti perang terbuka
mulai berkobar. Dentuman meriam dan senapan ringan. Terdengar gemuruh
memekakkan telinga. Dimuntahkan dari atas kapal ke arah pantai. Dibalas oleh
Laskar Pemberani Kerajaan Bone. Dari pantai Bajoe, Lona, dan Tippulue. Pertempuran
sengit tak dapat dielakkan. Laskar Kerajaan Bone bertahan mati-matian. Mengadu
kekuatan dan meregang nyawa. Sementara serangan Belanda semakin gencar.
Mengarah ke Tippulue dan Kampung Lona. Ponggawa Bone membakar semangat
Laskarnya. Semboyan Siri Na Pesse diteriakkan lantang. Disambut sorak-sorai
para Laskar Passiuno. Semua maju menyongsong kedatangan Belanda.
Arena
pertempuran mencekam dan menakutkan. Kilat-kilat peluru berhamburan di udara
leluhur Bugis. Bola-bola api beterbangan silang-menyilang. Pemandangan yang
langka bagi Rakyat Bone. Pantai Bajoe bagai neraka mengerikan. Jatuh tersungkur
sejumlah Laskar Passiuno (Pasukan berani
mati) berguguran bagai kembang semerbakwangi. Cucuran darah merah terlihat
di mana-mana. Menganak sungai di Bumi leluhur Bone. Pahlawan Tana Ugi mengukir
sejarah. Banyak Laskar tak sempat dibalut lukanya. Banyak juga tak sempat
dikenal wajahnya. Tergeletak berlumuran darah di mana-mana. Tak ubahnya
onggokan batang pisang. Di alur-alur sungai dan ditengah persawahan demi
mempertahankan Tana Sumange’ Tana Bone. Udara pesisir Timur Tana Bone malam
itu. Sungguh sangat mencekam memalukan. Muntahan peluru meriam adalah pandangan
mengerikan. Bagai bintang berguguran dari langit yang biru. Gugurlah
pahlawan-pahlawan Tana Ugi ialah Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat,
Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone
Utara. Begitu pula Arung Sigeri Keluarga Arungpone. Dan sejumlah Pakkanna
Passiuno lainnya. Serangan serdadu Belanda semakin membabi buta. Laskar
Kerajaan Bone mundur ke arah barat. Petta Ponggawae tetap bertahan di Cellu.
Daeng Marola Arung Ponre terkena peluru namun nafas masih ada. Diantar oleh
sejumlah laskar menuju Saoraja.
Di
tengah berkecamuknya pertempuran. Petta Ponggawae mengirim pesan ke Saoraja.
Agar Puatta Arungpone berpindah tempat. Dari saoraja ke Palakka yang lebih
aman. Bersama Seluruh keluarga dan isi Saoraja. Menerima pesan dari Petta
Ponggawae. Arungpone minta pandangan permaisuri. Juga kepada Arung Ponre Daeng
Marola. Yang tiba di Saoraja dalam keadaan luka. Bertahan di Saoraja atau
berpindah ke Palakka. Kepada Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Arung Ponre
dengan hormat melaporkan. Bahwa Laskar Bone tak dapat lagi membendung serangan
Belanda. Persenjataan sangat tidak seimbang. Perlu pertimbangan untuk mundur
selangkah untuk maju seribu kali. Setelah bertukar pendapat dengan Permaisuri.
Dan segenap keluarga Saoraja lainnya. Memperhitungkan baik dan buruknya.
Prinsip berpindah tempat bukan berarti kalah. Namun sebagai langkah
penyelamatan terhadap Arungpone. Usungan disiapkan untuk Puatta Arungpone.
Benda-benda Kerajaan dikemas oleh para Bissu pengawal Saoraja. Tombak dan
bendera SamparajaE disiapkan. Tinggal menunggu perintah dari Arungpone. Lapawawoi
Karaeng Sigeri di atas usungan. Sejenak memandangi Puncak Saoraja. Bagai mengucapkan
selamat tinggal istanaku. Bila Allah dan nabi-Nya memberiku kekuatan. Akan aku
kembali bernaung di bawah atapmu.
Diikuti
oleh permaisuri dan warga Saoraja berjalan ke arah barat melewati Coppo’ Meru
dengan pengawalan ketat dari laskar kerajaan Bone, akhirnya sampailah di tempat
bernama Palakka dan disambut oleh rakyat yang setia. Sementara itu di sekitar
Lona, Cellu, dan Tippulue pertempuran sengit sedang berkobar. Suasana semakin
mencekam dan mengerikan. Dua ribu laskar kerajaan Bone bertahan mati-matian di
sepanjang pantai Teluk Bone. Tembakan sporadis serdadu Belanda semakin dahsyat
membabi buta dan dibalas oleh lascar pemeberani kerajaan Bone. Banyak pohon
lontar dan pohon kelapa yang tumbang terkena peluru meriam dari tentara
Belanda. Berjatuhanlah korban kedua belah pihak. Demikian pula rakyat tak
bedosa roboh bersimbah darah mencium Tana Sumange’ Tana Bone tercinta.
Sementara
itu, sepeninggal Arungpone dan Permaisuri, keadaan Saoraja Nampak sepi dan
lengang, hanya dijaga oleh 2 orang lascar passiuno (laskar berani mati). Dengan
pandangan liar mengawasi musuh yang kedengarannya semakin mendekat. Kemudian
Petta Ponggawae muncul dari arah timur bersama rombongan menuju Saoraja.
Singgah sejenak menitip pesan kepada penjaga bila keadaan terdesak, “selamatkan diri wahai anakku” kemudian
menyusul Arungpone ke Palakka. Sementara itu pendaratan serdadu Belanda
berhasil, komandan Eskader di belakang lini pendaratan mengeluarkan isyarat,
agar tembakan dihentikan untuk memberi kesempatan serdadu yang mendarat dan
menjelajahi tempat sebelah timur Watampone.
Pada
tanggal Juli 1905 Debarkasi pendaratan Belanda telah selesai
gerakan Serdadunya berlanjut ke Watampone Saoraja Arumpone yang telah
dikosongkan menjadi tempat marsose dan staf serdadu. Sebahagian serdadu
mendirikan kemah memasang telepon untuk alat komunikasi Disebelah selatan
masjid Watampone berpesta pora, bernyanyi dan menari-nari meraih kemenangan
dalam pertempuran. Keesokan harinya sebelum matahari terbit terjadi kontak
senjata di sekitar Palakka cucuran darah kembali membasahi bumi Sersan Eibes
dari marsose tewas tertembak dua ekor kuda kavaleri Belanda juga mati. Sementara
perlawanan Laskar kerajaan Bone Di Ujung Pallette, TippuluE dan Lona tetap
berlanjut mengacaukan starategi musuh Letnan Pathest seorang Komandan marsose
tewas di cincang oleh lascar pemberani. Puluhan serdadu Belanda lainnya
luka-luka duratus lebih lascar Kerajaan Bone gugur tersungkur berjatuhan
mencium bumi sebagai pahlawan Bone yang perkasatak sempat dipancang batu nisannya.
Dalam mencari jejak Arumpone serombongan ternyata Belanda selalu menemui
kegagalan penunjuk jalan yang tetap mencintai Arumpone La Pawawoi Karaeng
Sigeri selalu menunjukkan jalan yang
berlawanan. Arumpone dan rombongan menuju Pasempe serdadu Belanda
diarahkan menuju Tajong di tajong Belanda bertanya tentang Arumpone tetapi
rakyat tetap menyembunyikannya serdadu Belanda kembali ke Watampone.
Di
Saoraja yang telah diduduki Belanda seorang pengkhianat datang melapor tentang
keberadaan Arumpone serombongan didaerah pegunungan bernama Pasempe suatu
daerah yang berhutan lebat dan berbatu. La Pawawoi Karaeng Sigeri dan
Permaisuri disambut Arung Pasempe dekat Ureng melalui jalan setapak diantar ke
Pasempe sementara ratusan lascar bersenjata lengkap menghadang serdadu Belanda
dekat pasar Usa. Di Pasempe Arumpone disambut oleh rakyatnya banyak penduduk
datang menemuinya menyatakan kesediaan dan kesiapan siap membantu apabla
Belanda tetap melakukan pelacakan dimana Arumpone dan rombongan berada. Petta
PonggawaE menemui Arumpone di tempat persembunyiannya di Pasempe melaporkan
Belanda telah menguasai Saoraja kedua petinggi Kerajaan Bone bergabung mengatur
startegi, melanjutkan perjuangan. Keduanya sepakat merubah taktik perang dari
perang terbuka menjadi perang Geriliya mengingat medan yang berhutan lebat
daerah pegunungan dengan tebing terjal banyak sungai yang deras dengan
rawa-rawa. Menginap semalam dirumah Arung Pasempe sambil mengamati
serdadu-serdadu Belanda menerima laopran dari pimpinan lascar yang tetap mengadakan
perlawanan dipesisir timur pantai kerajaan Bone.
Berdasarkan
laporan dari pengkhianat Arumpone dan serombongan berada di Pasempe tempat ini
telah lama dikenal oleh Belanda sebagai pertahanan Arumpone yang kuat dengan
medan yang sulit untuk dijangkau. Dengan mengambil jalan sungai Palakka serdadu
Belanda turun jurang dekat Usa pasukan depan ditembak dari atas tebing yang
dilancarkan oleh lascar Kerajaan Bone membuat serdadu Belanda kocar-kacir. Mereka berlarian mencari tempat yang aman
berlindung dibawah tebing-tebing batubagaikan anak ayam disambar burung elang
akhirnya Komandannya member perintah untuk mundur kemali ke Watampone. Subuh
hari sebelum matahari menyingsing Arumpone segera meninggalkan Pasempe dengan
pengawalan bersenjata lengkap mersama keluarga berangkat ke Gottang daerah
pegunungan sebelah barat Pasempe. Petta PonggawaE bersama sejumlah lascar menghadang
serdadu Belanda di Cinennung pos pengintai dipasang dipuncak bukit siap member
tanda dengan bunyi kentongan bila serdadu Belanda terlihat dari jauh.
Utusan
Dulung Awang Tangka dari selatan Cambang Mattemmuna Bojo yang perkasa datang
menemui Arumpone di Gittang menyampaikan kesiapan laskar Bone Selatan
membendung serbuan Belanda dari Balannipa. Laskar-laskar pemberani Bone Selatan
siap bertahan di selatan Kerajaan Bone menghimpun tenaga, menggalang kekuatan
semangat berkobar bagaikan nyala api membakar rerumputan dipadang kering. Tersebut
dalam kisah, tercatat dalam sejarah pimpinan lascar diselatan kerajaan Bone
- Calabinna Buhu dan Bali’ Cilampana
Mare
- Balibinna Labuaja, Dunrumpulawenna
Gona
- Termasuk Cambang Mattemmunna Bojo
Bersuka
hati Aumpone dan Permaisuri mengdengar berita dari Dulung Awang Tangka satu
pertanda dan bukti yang sangat nyata bahwa seluruh rakyat di Kerajaan Bone
tetap mencintai Arumpone pemimpinnya. La Pawawoi Karaeng Sigeri berpesan kepada
Dulung Awang Tangka serta laskarnya agar tetap mengobarkan semangat pakkanna
Mabbulo Sipeppa melawan penjajah Belanda
demi mempertahankan kerajaan Bone. Walaupun Gottang tempat sulit dijangkau
tetapi Arumpone tetap merasa kurang aman
Belanda tetap berupaya menemukannya tetapi mencari petunjuk yang jelas
dimana tempat Arumpone bersembunyi. Bersama Baso Arung Pagilingi dan Arung Macege
Arumpone meninggalkan Gottang menuruni lembah, menyebrangi sungai akhirnya
sampai di Alekale dekat Bengo daerah pegunungan yang berhutan lebat. Di Alekale
Arumpone menerima laporan keberadaan sejumlah serdadu Belanda Dikampung Cani,
Maroanging dan Nengo lalu lascar-laskar Arung pimpinan Arung Bengo
menghadangnya di Sumpang Labbu dan Koppe. Banya penduduk menemui Arumpone
ditempat persembunyiannya di Alekale dari Bngo, Malaka, Taka, Tanatengnga
menyatakan kesiapan untuk membantu apabila serdadu Belanda datang menyerang. Sementara
dibagian selatan kerajaan Bone pertempuran berkobar dengan sengitnya Laskar
pemberani pimpinan Arung Labuaja menghadang serdadu belanda dari arah Sinjai
kedua belah pihak berjatuhan, berkaparan.
Laskar
Kerajaan Bone berjuang mati-matian menyerang bagaikan serigala kelaparan
membuat serdadu Belanda kocar-kacir mencari perlindungan menyelamatkan diri
dari tebasan kelewang, keris, dan tombak. Janj Arung Labuaja kepada Arumpone bukan isapan
jempol penu kepalsuan tetapi dibuktikan dengan tindakan nyata semangat pakkanna
terus dikobarkan siang dan malam terus bertempur. Dikampung Mangopi dekat
Sinjai Arung Labuaja membakar kemah Belanda seorang serdadu Belanda tewas
mengenaskan dicincang oleh lascar Arung Labuaja puluhan lainnya luka-luka
terkena tombak. Di Alekale tempat Arumpone istirahat terdengar kabar Belanda
semakin dekat maka dengan pertimbangan keamanan bagi Arumpone dan segenap
keluarga segera meninggalkan tempat itu. Sebelum matahari terbit di ufuk timur
Arumpone, Permaisuri, segnap keluarga didampingi Baso Pagilingi dan Arung
Macege meninggalkan Alekale menuju kearah barat melewati Lappa Bengo,
menyebrangi sungai. Banyak penduduk menjemput kedatangannya dipinggir sungai
WalannaE, dengan lepa-lepa menyebrangkan Arumpone dan rombongan selanjutnya
berjalan menuju daerah Lamuru Lili Paseajingeng Bone dengan Soppeng. Sebagai wujud kecintaan dan kesetiaan kepada
La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai mangkau’ berhati lembut penduduk menyiapkan
apa yang dibutuhkan dipenuhi apa yang semua diperlukannya.
Mendengar
kedatangan Arumpone di Lamuru datu Soppeng datang untuk menemuinya kepada
Arumpone, datu Soppeng menyarankan agar berpinda ke Citta dekat Pacongkang
karena Lamuru telah diuber serdadu Belanda. Saran Datu Soppeng diterima
Arumpone berkemaslah Arumpone serombongan untuk berangkat menuju kedaerah Citta
kuda beban dan perbekalan disiapkan sejumlah penduduk siap menemaninya. Setelah
berpamitan dengan Datu Soppeng, Arumpone serombongan berjalan ke utara melewati
padang luas, menyeberangi sungai mendaki gunung, menuruni lembah-lembah tidak
merasakan panas dan dingin dijalan. Melelahkan, akhirnya sampai di Citta
alamnya sejuk dengan pohon yang rindang di tepian sungai WalannaE, mengalir
tenang sementara Sulewatang Citta menyiapkan pemondokan untuk tempat istirahat
serombongan. Setelah istirahat dua hari di Citta, Arumpone menerima kiriman
Arung Amali 50 pucuk senjata bersama laskarnya guna memperkuat pengawalan
Arumpone yang pantang menyerah terhadap Belanda.
Berita
keberadaan Arumpone dan pengikutnya bagi serdadu Belanda semakin simpang-siur
operasi militernya untuk memburu Arumpone selalu saja gagal, mengalami jalan
buntu jejak-jejak Arumpone tak terpantau olehnya. Perhatian Belanda beralih
kedaerah Wajo mengingat kedekatan Wajo dengan Bone kekuatan utamanya pindah ke
Pompanua bukan hanya untuk menghadapi Wajo semata tetapi juga untuk Soppeng dan
Sedenreng. Sungai Cenrana diteliti dengan saksama, Laskar Arung Bola bertahan
dimuara Cenrana membuat gerakan serdadu Belanda terhalang. Keesokan harinya
kembali ke Pompanua membuat rencana, menyusun strategi baru. Di Citta Arumpone dan pengikutnya walau
bertekad bertahan mati-matian namun berubah pikiran untuk berpindah
pertahanannya dialihkan ke kampung Barang atas usul Baso Pagilingi dan Arung
Macege. Dipagi buta sebelum matahari terbit firasat buruk menggoda benak
Arumpone seperti firasat yang selalu dialaminya kampong Barang diketahui
serdadu Belanda lalu ditinggalkannya, entah mau kemana. Dikawal ketat oleh laskar
kerajaan mendaki bukit terjal, menuruni lembah berjalan siang dan malam tak
kenal lelah panas dan dinginpun tak dirasakannya akhirnya sampai didaerah
bernama Wajo.
Mendengar berita kedatangan Arumpone Arung
Matowa Wajo datang menjemput dan menginap di rumah Cakkuridie di Lowa bersama
Abdul Hamid Baso Pagilingi melepas lelah, mengatur strategi baru. Keakraban
TellumpoccoE kembali terbukti di Soppeng dilayani oleh Datu Soppeng, di Wajo
Arung Matowa Wajo menjemputnya. Jika Bone kesulitan, Soppeng-Wajo merasakan
begitu bunyi ikrar “LamumpatuE ri Timurung”. Sementara target operasi serdadu
Belanda menangkap Arumpone hidup atau mati rupanya semakin jauh dari harapan
musuh yang dihadapinya semakin bertambah dengan masuknya Soppeng, Wajo, dan Sidenreng.
Perlawanan Arung Labuaja di Bone Selatan membuat Belanda pusing tujuh keliling
bersama Petta Tenrie bertahan di Bontonrihu daerah pegunungan yang sulit
dijangkau medan bertebing batu dan berhutan lebat. Petinggi Soppeng juga
melawan Belanda Watang LipuE, Sule Datu dan La Mappe punya pengruh dan memiliki
banyak senjata juga La Pabeangi Arung Bila dan laskarnya membuat Belanda harus
ekstra hati-hati.
Pada
tanggal 12 November 1905, terjadi pertempuran sengit di Lamposo dan Balusu,
serdadu Belanda pimpinan Kapter Kooy nyaris kewalahan melawan laskar Soppeng
dibawah Komando Watang LipuE dan La Mappe. Keakraban kerajaan-kerajaan tetangga
Bone membuat Belanda salah menyusun strategi mengalahkan Bone dan menangkap
rajanya ternyata tidak semudah yang dipiirkan, kerajaan Bone bukan Kerajaan kecil. Di bulan Juli sampai Agustus 1905 penangkapan Arumpone bersama putranya belum
juga membuahkan hasil bagi Belanda keduanya ahli dalam menyusun strategi. Di
rumah Cakkuridie di Lowa Wajo, La Pawawoi Karaeng Sigeri berkeluh kesah kepada
putranya dan permaisuri tercinta juga kepada pengikutnya yang menyertainya
tentang perjalanan panjang yang melelahkan. Sejak meninggalkan Saoraja di
Watampone tidak terasa telah memasuki bulan ketiga namun belum juga menemukan
tempat aman yang terhindar dari pengejaran Belanda dimana dia berada selalu
saja dauber Belanda. Selaku Panglima KeraJaan Bone Abdul Hamid Baso Pagilingi
Petta PonggawaE termenung mendengar penuturan orang tuanya begitu pula dengan
permaisuri dan keluarga lainnya membuat suasana hening, sangat hening. Masih
ada duaratusan laskar passiuno yang setia mengikuti kemana saja pergi kerajaan
tetangga Soppeng, Wajo, Sidenreng juga memberikan bantuan moril dan matril
membuatnya mampu bertahan dan melawan.
Permaisuri
dan I Cenra istri Baso Pagilingi hanya mampu mendengar keluh kesah itu dalam
hati kedua srikandi Bone tersebut berbisik dengan irama purba pesan leluhur Tellabuu
Essoe ri tengnga bitarae (matahari tak akan terbenam dipuncak langit) Sementara
itu, suatu laporan mengejutkan serdadu Belanda telah berada di Tancung di rumah
Ranreng Bettempola Arung Ennengnge sebahagian menuju ke Lowa tempat Cakkuridie
juga salah seorang dari Arung Ennengnge. Maka atas pertimbangan dari CakkuridiE
dan juga sejumlah petingga Wajo lainnya Arumpone dan serombongan meninggalkan
Lowa dilepas sahabatnya, petinggi-petinggi Wajo disiapkan bekal selama
perjalanan. Setelah berpamitan dengan CakkuridiE rombongan Arumpone berjalan
kearah barat entah daerah mana lagi menjadi tujuannya melewati padang luas,
menuruni jurang mendaki bukit dan menyebrangi sungai. Sampailah diperbatasan
Siwa-Tanah Toraja tempat ini diketahui bernama Awo penduduk Awo menjemput
kedatangannya menunjukkan tempat aman dilereng gunung didepan mulut sebuah gue
batu yang besar. Dibuatkan gubukp-gubuk untuk berteduh disalah satu tempat yang
agak ketinggian dipasang pos pengintai mengamati musuh disiapkan makanan dan
kebutuhan lainnya wujud kecintaan terhadap Arumpone. Arung Awo segera
menghimpun tenaga lalu bergabung dengan lascar Arumpone dengan tekad ikut
berperang melawan Belanda yang beritanya semakin mendekati Awo untuk menangkap
Arumpone hidup atau mati. Pengejaran Belanda memang tidak berhenti persenjataan
lengkap, personil militer tanggunh membuat Arumpone keluar dari negerinya namun
bagi serdadu Belanda sangat melelahkan sangat luarbiasa dalam sejarah
perangnya.
Mengetahui
Arumpone meninggalkan negerinya Panglima Operasi Belanda mengubah strategi
Kapten Marsoose Van Stiprian Luiseius diserahi tugas untuk pengejaran guna
menangkap Arumpone dan putranya. Dipagi hari tanggal 5 September 1905 serdadu
Belanda pimpinan Van Luiseius berangkat ke Awo lewat Gilireng dan Kera dengan
senjata lengkap,dengan personil tangguh. Sebelum serdadu Belanda tiba di Awo
dihadang oleh laskar Bone yang dibantu laskar Awo sehingga terjadi kontak
senjata secara mendadak membuat serdadu Belanda kocar-kacir berhamburan mencari
perlindungan. Dilereng gunung Awu di mulut gua batu Addatuang Sidenreng
mengutus putranya menemui Arumpone dan Petta PonggawaE dan menyampaikan
kesiapannya membantu Arumpone sebagai
wujud keakraban Bone-Sidenreng. Didepan
Arumpone dan Petta PonggawaE putra Addatuang Sidenreng menyampaikan Addatuang
Sidenreng menghimpun tenaga menggalang kekuatan untuk membantu melwan serdadu
Belanda Si Putih Mata. Tersenyum La Pawawoi Karaeng Sigeri menerima putra
Addatuang Sidenreng lalu dengan suara mantap berwibawa berpesan keada Addatuang
Sidenreng agar bantuan tersebut secepatnya dikirim. Bantuan Addatuang Sidenreng
tersebut dirasakan Arumpone dan pengikutnya sebagai mata air yang menyejukkan
hati keluar dari sela-sela batu di Bulu Awo membasahi kerongkongan yang kering.
Tetapi sebelum bantuan Sidenreng tiba persembunyian Arumpone dan pengikutnya
terkepung rapat oleh serdadu Belanda dibawah pimpinan Letnan Eilers dari
Marsose namun kehabisan bekal. Besoknya tanggal 13 November 1905 yang kelabu
Letnan Eilers bergerak menuju Bonto Pasang Letnan Van Riemsdijk bergerak ke
Lumingka Letnan Snellen van Vollenhoven ke Lombok.
Didepan
gua batu dilereng Bulu Awo Arumpone dan keluarga diliputi kecemasan bangkit
berdiri Abdul Hamid Baso Pagilingi memohon petunjuk dan restu kedua orang
tuanya juga kepada isterinya I Cenra Arung Cinnong. Dengan mata sedikit
meneteskan air Baso Pagilingi Petta PonggawaE berkata: kedua orang tuaku yang
saya cintai juga isteriku I Cenra Arung Cinnong semoga saya tetap memiliki
keberanian. Menghadapi serangan serdadu Belanda dihatiku sekarang, hanya ada
dua pilihan menang dalam membela kerajaan Bone Tana Sumange’ atau gugur sebagai
pahlawan Tanah Ugi bagai “Bunga Sibollo” harum dan wangi. I Cenra Arung Cinnong
memeluk suaminya ikut pula permaisuri menepuk bahu anaknya dengan suara
terputus-putus keduanya berkata walaupun aku hanya perempuan yang lemah tetapi
aku berdua tetap berada dibelakangmu. Sebelum keluar meninggalkan gua Batu
menghadapi serangan Serdadu Belanda Petta PonggawaE berteriak lantang mungkin
disinilah, dilereng Bulu Awo darahku yang penghabisan akan menetes. Sebab
walaupun kita berlari keujung langit serdadu Belanda tetap saja membuntuti
wahai kedua orang tuaku, isteriku tercinta dan segenap laskar pemberani
kerajaan Bone relakan diriku bertarung diwalawala bessie.
Petta
PonggawaE dan sejumlah lascar diikuti Daeng Matonggo manghadapi musuh sedangkan
Arumpone bersama permaisuri I Cenra Arung Cinnong dan keluarga lainnya dikawal
sejumlah laskar berjalan kebarat. Serangan sporadik serdadu Belanda memberondong
pertahanan Baso Pagilingi desingan peluru dan asap memenuhi udara tombak, keris
dan kelewang ikut bicara lereng Gunung Bulu Awo bersimbah darah merah. Pepohonan,
bebatuan dan rerumputa dilereng Bulu Awo yang penuh sejarah menjadi saksi bisu
yang tak mampu bicara bagaimana Baso Pagilingi dengan mata merah menghadapi
musuh dengan keris terhunus. Seandainya burung-burung dan belalang dilereng
Bulu Awo, bicara bagai manusia maka pasti akan mengungkap pertarungan itu kemampuan
Pakkanna Kerajaan Bone menghadapi serangan serdadu Belanda. Pertempuran semakin
sengit menyeramkan Petta PonggawaE, Daeng Matonggo dan laskar bagaikan serigala
lapar menerkan mangsanya keris dan tombak diayunkan kekiri dan kekanan serdadu
Belanada nyaris dibuat kewalahan. Arumpone dan keluarga yang berjalan ke barat
mendapat firasat buruk tentang anak-anaknya kepada permaisuru dan I Cenra Arung
Cinnong diajaknya untuk ketempat semula mendekati putranya Abdul Hamid Baso
Pagilingi. Menurutnya jiwa Baso Pagilingi terancam walaupun dia Panglima ahli
strategi waktu keluar bersama Daeng Matonggo bayangan buruk melintas di benak
Arumpone akan keselamatan BAso Pagilingi dengan laskarnya.
I
Cenra Arung Cinnong semakin gelisah teringat firasat mertuanya selama ini yang
dikatakan selalu menjadi kenyataan namun dalam lubuk hatinya yang dalam
mengepul doa kepada Allah dan Nabi-Nya. Arumpone berbalik ketempat semula
didepan gue batu dilereng Bulu Awo ditengah jalan dicegat dua orang penduduk agar
tidak melanjutkan perjalanannya pertempuran sengit berkobar didepan gua batu. Sementara
Petta PonggawaE bersama laskarnya berhadapan langsung dengan serdadu Belanda
dan ketika menhayunkan keris pusakanya sebutir peluru mengenai pangkal pahanya
menyebabkan terungkur mencium bumi. Walaupun tidak ada darah yang mengucur
namun kelihatannya sulit untuk berdiri Baso Pagilingi masih sempat berteriak
menyatakan tidak akan mundur setapak, siap berperang hingga tetes darah
terakhir demi Tana Sumange. Sementara itu Daeng Matonggo Wakil Panglima Perang
merangkul dan memapah Petta PonggawaE beberapa butir peluru bersarang di dadanya
keduanya tersungkur, berlumuran darah keduanya gugur bagai kembang di taman
tenrinawa kessinna Seorang laskar berlari menemui Arumpone gugrnya Petta
PonggawaE gugrnya Daeng Matonggo ditempat yang sama diterjang serentetan
tembakan senapan Belanda dibawah sebuah pohon yang rindang.
Mengetahui
Petta PonggawaE telah gugur I Cenra Arung Cinnong berlari mencarinya disusul
Permaisuri, Arumpone dan keluarganya ditemukan terbaring kaku dijaga laskar
disampingnya pula terbaring Daeng Matonggo. Serdadu Belanda mendekati mayatnya
dengan pedang terhunus, putih mengkilat bermaksud memenggal dan mengambil
kepalanya bukti kematian panglima perang Bone kepada komandannya yang berada di
Pompanua. Mengetahui rencana serdadu Belanda I Maddiawe seorang perempuan
pemberani yang selalu dekat dengan permaisuri berdiri menantang serdadu Belanda
dengan keris terhunus diayun-ayunkan. Berdiri pula Andi Mami mencabut keris
lalu diserahkan kepada Arung Cinnong agar melindungi mayat Baso Pagilingi dari
rencana busuk serdadu Belanda yang bermaksud memenggal kepalanya. Kemarahan I
Cenra Arung Cinnongmemuncak bagai air mendidih seratus derajat serdadu
Belandapun mengurungkan niat membiarkan saja I Cenra Arung Cinnong merangkul
dan mendekap mayat suaminya. Hari itu tanggal 17 November 1905 merupakan
perlawanan terakhir Arumpone. Melihat putranya Baso Pagilingi telah tewas
Arumpone merenung dan meletakkan senjata. Beliau berpikir, berapa banyak laskar
telah gugur, berapa banyak darah tumpah membasahi bumi selama lima bulan lebih
lima bulan berperang sementara harapan bertahan semakin tipis kondisi fisik
laskarnya semakin turun. Satu-satunya yang tidak pernah goyah adalah jiwa
kesatria dan semangat patriotis itulah yang membuat dirinya mampu bertahan
mempertaruhkan nyawa dan segalanya membela kerajaan Bone yang dicintainya. Moni
pale’ Lapie natappo’ bombing lipu tenritta, Sumange’ tea lara, Moni pale sunge’
laona tallinrang mabela sumange’ tea lara. Kepada permaisuri dan Arung Cinnong
dan juga sisa-sisa lascar yang masih hidup Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri
berkata Rumpa’ni Bone – Rumpa’ni Bone – Rumpa’ni Benteng pertahanan Bone telah
bobol.
Permaisuri
dan I Cenra Arum CInnong menatap Arumpone penuh keharuan linangan air mata
sebagai tanda berduka I Maddiawe, And Mami dan keluarga lainnya menekan gunda
dengan napas kesedihan. Letnan Eilers yang memimpin penyergapan mendekati
Arumpone mengulurkan tangan mengingatkan bahwa perang telah usai perngorbanan
kedua belah pihak terlalu banyak pertumpahan darah sebaiknya dihentikan. Tatapi
walaupun telah meletakkan senjata La Pawawoi Karaeng Sigeri tetap berdiri jiwa
kesatria masih membara dihatinya memikirkan kerajaan Bone dan rakyatnya yang
sebentar lagi akan ditinggalkannya. Letnan Eilers kembali menyapa Arumpone
“Yang mulia Raja Bone telah kami tawan mari kita berjalan menuju ke Pare-pare
di pare-pare lalu naik kapal H.M.Asahan untuk selanjutnya menuju ke Ujung Pandang”
Mendengar ajakan Komandan Belanda permairusi berdiri dan berkata agak emosi
bahwa Arumpone tidak biasa berjalan kaki selalu diusung kemanapun ia pergi
sambil usungan dalam gubuk. Letnan Eilers menyimak maksud permaisuri setelah
mengerti, lalu menyuruh anggotanya mengambil usungan Arumpone didalam gubuk dua
orang serdadu Belanda berlari cepat mengikuti perintah dari komandannya. Kemudian
kembali membawa usungan lalu diletakkan di depan Arumpone yang masih berdiri
seperti berpikir kemudian menatap permaisuri tercinta minta pertimbangan
bagaimana sebaiknya. Permaisuri mengangguk tanda setuju tak ada jalan lain
kecuali pasrah mengikuti keinginan serdadu Belanda tunduk bukanlah berarti
kekalahan demikian dalam hati kecilnya. Dengan Bismillah, Arumpone naik usungan
diangkat serdadu Belanda menuju parepare diikuti permairusi dan segenap
keluarga juga sisa-sisa lascar yang masih hidup keesokan harinya baru sampai di
Rappang.
Sepeninggal
Arumpone dan pengikutnya lereng Bulu Awo menjadi sepi dan sunyi hanya terdengar
kicauan burung terdengar dipepohonan suaraq jangkring diselah-selah bebatuan
semuanya berduka, semuanya berkabung. Seperti mengucapkan “Selamat jalan” buat
Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dan doa arwah Baso Pagilingi Petta PonggawaE raja Bugis yang
berjiwa kesatria sejati membela, mempertahankan kerajaan Bone. Pada Taggal 29
November 1905, Arumpone dan sekeluarga tahanan Belanda dengan kapal H.M. Asahan
menuju Ujungpandang dari Ujungpandang, diasingkan ke Bandung. Berita gugurnya
Baso Pagilingi Petta Ponggawa Bone dan tertawanya La Pawawoi Karaeng Sigeri
dihembuskan Belanda kesegala penjuru untuk melemahkan semangat para laskar yang
masih bertahan diberbagai tempat. Disebarkan ke Selatan kerajaan Bone wilayah
pertahanan laskar La Temmu Page Arung Labuaja Dulung Awang Tangka yang sulit ditemukan
jejak langkahnya apalagi menangkapnya hidup atau mati. Usaha Belanda
menyebarkan informasi tentang gugurnya Petta PonggawaE tertawanya La Pawawoi
Karaeng Sigeri ternyata banyak membuahkan hasil sejumlah petinggi laskar banyak
menyerahkan diri.
Untuk
mengetahui tempat Arung Labuaja Belanda menelusuri Camba, Pattunuang Asue
lanjut ke Bontorihu perbatasan Gowa Gattareng Matinggi dan Wanuwa Waru namun
buruannya tetap tidak ditemukan. Berikutnya mencari jejak Daeng Patangnga bekas
penguasa enclave Gowa mulai dari Benuang, Raja dan Parigi Lamuru, Muttiara dan
Mario Riwawo namun hasil perburuannya tetap saja nihil. Pada malam hari tanggal
11 November 1905 tiba di Lampoko Soppeng
Riaja Panglima Operasi serdadu Belanda dengan mengawal satu kompi Marsose. Besoknya
pukul sebelas dipagi hari Kolonel Engelen datang membantu mengatasi perlawanan
lascar Bone yang bertahan terus dekat Lampoko membuat kompi Lanshoek kewalahan.
Arumpone
La Pawawoi Karaeng Sigeri dibawa oleh Belanda mengarungi laut mninggalkan
dataran Celebes selatan dan Kerajaan Bone yang dicintainya menuju ke Bandung
kota yang dingin. Di depan Gubernur Jenderal Belanda yang mengadilinya di kota
Jakarta Arumpone mengucapkan tantangan membuat penguasa Belanda tersebut
mengagumi ketegasan dan keberaniannya. Pernyataan yang sangat tegas dan berani
mengatakan hati Gubernur Jenderal Belanda Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri
seorang raja Bugis yang berhati baja menantang Belanda, menantang penjajah. Walau
dirinya dalam belenggu kekuasaan tetapi bergeliat melepaskan diri tubuh
kasarnya tertawan oleh penjajah tetapi jiwa dan hatinya tetap melawan seperti
berada dicakrawala yang bebas.
Beberapa
tahun hidup dipengasingan menghirup udara Bandung yang dingin ketentuan Allah
Maha Kuasa datang juga yang panjang tidak mungkin terpotong yang pendek tidak
mungkin tersambung. Pada tanggal 17 Januari 1911 Arumpone La Pawawoi Karaeng
SIgeri mengehembuskan nafas terakhirnya di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Bangsa
dan Negara kehilangan Patriot rakyat Kerajaan Bone berselimut duka sanak
keluarga melepas kepergiannya teriring doa kepada Sang Pencipta semoga arwahnya
tenang disisi-Nya. Dimakamkan diperkuburan Mangga Dua tetapi keputusan presiden
RI Soeharto maka pada tanggal sepuluh Bulan Juli tahun seribu Sembilan ratus
tujuh empat dimakamkan kembali di TMP Kalibata. Arumpone La Pawawoi Karaeng
Sigeri dan putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi telah lama meninggalkan dunia
yang fana kerajaan Bone tercinta di tana Ugi dan seluruh rakyat yang setia
padanya. Kinii tulang belulangnya hancur dimakan tanah tetapi nama besar dan
jasanya terus dikenang terlukis indah didalam sejarah terpatri abadi dihati
rakyat tanah Bone dan sebagai seorang kesatria dan patriot sejati.
Pahlawanku,
di sini tanah Bone Tana Sumange’,Tanah Ritappa Dewatae nan asri seribu generasi
mengagumi keberanianmu seribu generasi menghargai jasamu tidurlah tenang,
menanti kami !
Kami
generasimu menjalin kata, mengharap arwahmu mendengaranya, lewat renung
Ininnawa, kupersembahkan untukmu …
Rumpa’na Bone
Lontara’
Kissana Tana Sumange, Ri lipu malebbiku
Salassa
Batara Tungke, Tudang ri Langkana
Iya
labela temmanengnga temmassaile, Ri limpo tengnga padang
Mangolo
ri pammassareng, Tellabu essoe ri tengnga bitarae.
Rumpa’ni bitarae siruttungeng langie
Wae mata paccemmena, wae mata
pawalunna
Sunge
ripaseng lipu tenrita, Nalete passengereng
Takkena
ungawaru, riayala kembongeng
Matti
limbang ri maje
(Ciptaan
: Mursalim)
Penutup
Satu
perlawanan sengit telah berakhir dengan segala pengorbanan yang tidak ternilai
harganya. La Pawawoi Karaeng SIgeri selaku tokoh sentralnya telah ditangkap
oleh Belanda dan diasingkan ke Bandung pada tanggal 14 Desember 1905. Sedangkan
Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE selaku Panglima Perang Kerajaan Bone
telah gugur sebagai pahlawan Tanah Ugi delereng guunug Bulu Awo perbatasan Siwa
dengan tanah Toraja pada tanggal 18 November 1905.
Tertangkap
La Pawawoi Karaeng Sigeri dan gugurnya Putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi dan
ribuan lakar pakkanna passiuno lainnya, merupakan bukti betapa tingginya
semangat patriotis rakyat Bone dibawah pimpinan La Pawawoi Karaeng Sigeri
bersama putranya menantang penjajah Belanda. Kalau saja La Pawawoi Karaeng
Sigeri selaku Raja Bone ke-31 mau menerima tawaran Belanda untuk bekerja sama
mengelola pelabuhan BajoE dan Cenrana, mungkin masalahnya akan menjadi lain.
Setidaknya kursi kerajaannya tidak akan goyah. Segala bentuk kesenangan dan
kemewahan sudah jelas berada dipihaknya. Segala fasilitas yang diinginkan sudah
tentu dipersiapkan oleh Belanda yang memiliki keinginan untuk menjajah tanah
Bone Khususya Tana Ugi pada Umumnya.
Namun
bukan itu yang menjadi impiannya. Bagi La Pawawoi Karaeng Sigeri, segala bentuk
penjajahan harus dilawan dengan prinsip “Lebih baik mati berkalang tanah,
daripada hidup dalam cengraman penjajah”. Bagi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak
mau begitu saja didikte yang kemudian mematuhi segala kainginan penjajah
Belanda. Prinsip yang demikian tegas,
dilontarkan La Pawawoi Karaeng Sigeri didepan Gubernur Jenderal Belanda di
Jakarta tahun 1906 yang bunyinya sebagai berikut : “Walaupun aku akan terdampar
diluar bumi sekalipun, asalkan tak goyah juga keyakinanku pada kitab yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, nabiku. Karena itu adalah pendirianku. Biarkan tubuh
kasarku menghadap atau tertawan, tetapi hatiku pantang bersua dengan kompeni
Belanda.
Pernyataan
yang begitu tegas dan penuh keberanian itu, menunjukkan bahwa La Pawawoi
Karaeng Sigeri disamping sebagai seorang patriot sejati, juga seorang muslim
yang taat dan tetap bersanda pada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Hal ini
dapat kita lihat pada balasan surat ultimatum Belanda tanggal 14 Juli 1905.
Diakhir kalimat La Pawaoi jelas terbaca : “Saya sekarang hanya menunggu
perlindungan Tuhan dan Nabi-Nya, demikian pula dari pemerintah”. Begitulah
bunyi kalimat terakhir La Pawawoi Karaeng Sigeri yang ditulis dan dikirim
kepada Belanda di perairan Teluk Bone pada tanggal 20 Juli 1905. Kalimat ini
membuat Belanda merasa dilecehkan dan akhirnya melakukan serangan terhadap
kerajaan Bone yang mengakibatkan gugurnya ribuan Pahlawan Tanah Ugi termasuk
Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE.
Ketegasan
dan keteguhan hati seorang La Pawawoi Karaeng Sigeri selaku raja Bone – XXXI,
adalah suatu langkah yang cukup berani.
Oleh karena itu, sebagai generasi penerusnya, patutlah untuk mengeningkan cipta
mengenang jasa-jasanya yang tidak ternilai harganya dalam memperjuangkan
kebenaran. La Pawawoi Karaeng Sigeri dan putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi
Petta PonggawaE, termasuk sejumlah pimpinan lascar Kerajaan Bone yang gugur
dalam pertermpuran melawan Belanda, memang talah lama meninggalkan dunia yang
fana ini. Mungkin tulang-tulangnya telah hancur dimakan tanah, tetapi semangat
juanganya yang sulit ditemukan tandingannya tetap berkobar dihati rakyat Tanah
Ugi khususnya dan rakyat Indonesia yang sempat membaca kisahnya pada umumnya.
Kepada
Arwahnya semoga bahagia disisi-Nya dan diterima sebagai penghuni Surga yang
sejuk dan nyaman. Amien……. Ya………… Rabbal Alamin.
CATATAN ISTILAH
1. Toddo’ siri napesse : keyakinan
dalam mempertahankan harga diri (martabat)
2. Wija To Bone : keturunan
orang Bone
3. Tappere Boddong : Tikar
kecil berbentuk segi enam sebagai tempat duduk Arumpone.
4. Rituddukenna Lamangolokelling
CempaningaE : semacam paying yang menaungi Arumpone ditempat
didiknya.
5. Pattettengen dan Jowa :
dayang-dayang dan pengawal
6. Tellabu EssoE ri tengngana bitaraE :
matahari tidak akan terbenam dipuncak langit. (Suatu keyakinan bagi masyarakat
Bugis dalam membangkitkan semangat).
7. Pakkanna Passiuno :
Pasukan berani mati.
8. Riwalawala BessiE :
Diarena pertempuran dengan tombak.
9. Appasareng KannaE :
Dimedan perang.
10. Ade’ Mappura onronna Bone :
Adat atau aturan yang berlaku secara mutlak di Kerajaan Bone.
11. Osong Pakanna :
Lagu-lagu pembangkit semangat dalam perang.
12. Ada passokkang :
Kalimat pembangkit semangan yang diucapkan oleh pemimpin lascar dalam
menghadapi musuh.
13. TellumpoccoE :
Aliansi tiga kerjaan yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo.
14. Bunga Sibollo :
Bunga yang disimbolkan kepada lascar yang gugur dalam pertempuran.
15. Rumpa’no Bone :
Kalimat yang diucapkan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri setelah melihat
putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi tewas diterjang peluru tentra Belanda yang
artinya “Bobollah pertahanan Bone”.
IKRAR KESETIAAN (ANGNGARU)
1.
Abdul
Hamid Baso Pagilingi :
“ITAWA MAI LAPUANG BATARA
TUNGKE’NA BONE MUPEMANGGA MADECENGNGA SINING PATTUMPU BATUE SAILE TOWA LABELA
SINING TAU MAEGAE IYYA ARENA LABELA BETTA MASOLLASOLAE TEMMENNAJAI SUNG’KU
MATTEKKA RI PAMMASSARENG
INAPPA MEMENGI PARANRU RUKKA
MAWEKKE ALINGERENG MANGKAU’KU BATARA TUNGKE’NA BONE NALESANNA RIMAJE SUMANGE’
BANAPATIKKUWAJOWAJO MANILLOLANG RI WANUA LINO KUINRENG TOMMIRO BELA TONGENG
PASSINGARA’KU
KUWANNA MACCAPPU BELLO
RIWALAWALA BESSIE RIAPPASARENG KANNAE TELLU TAUNNI LABELA KALAMAU’ MEKLLA MALA
NYAWA NAIYA KUBALIANGNGI KALIMAU’ RISUROE KUWA LALOPA MUALA RIWALAWALA BESSIE
RIAPPASARENG KANNAE MUPANEDDINGI’I SUNGE’KU MATTEKKA RIPAMMASARENG.
(Pandanglah dirikupuang,
penguasa tunggalnya Bone tataplah diriku bai-baik wahai undangan yang hadir
lirik pulalah aku wahai orang banyak saya adalah jagoan dan pemberani yang tidak memikirkan ajalku untuk meningglkan
dunia ini.
Kitika pernyataan perang telah
diumumkan oleh raja yang kuhormati, penguasa tunggal Bone maka seluruh
semangatku telah menyebrang keakhirat kini hanya bayang-bayanglah saja yang
Nampak didunia sebab saya hanya meminjam tubuhku yang kasar ini.
Saya akan mengakhiri segala kemampuanku
diarena pertarungan tombak, dimedan pertempuran, telah tigatahun malaikat maut
bermaksud mencabut nyawaku tetapi saya selalu menjawab malikat maut yang
disuruh ambillah nyawaku diarena pertarungan tombak dimedan pertempuran
dencingkanlah ajalku menyebrang keakhirat.
(Tamat)
(Teluk Bone)