Sabtu, 16 April 2016

Sejarah Perjalanan SAORAJA atau BOLASOBA di Bone



 
SAORAJA atau BOLASOBA, dalam bahasa Indonesia yang berarti Rumah Besar  atau Rumah Persahabatan merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Bone masa lalu.  Bangunan rumah panggung yang sarat dengan nilai-nilai sejarah ini masih berdiri kukuh  terletak Jalan Latenritata, Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Sepintas, tak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir setengah  hektar tersebut. Dari luar, tampak hanya sekadar bangunan rumah panggung tradisional ala masyarakat bugis Bone. Hanya ada papan nama di depan bangunan serta gapura yang mempertegas identitas bangunan tersebut.

Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan secara hirarki dan historis bangunan tersebut. Hanya beberapa perlengkapan properti kesenian, seperti kostum tari dan gong. Ya, saban hari bangunan Saoraja atau Bolasoba ini menjadi tempat pelatihan sanggar-sanggar seni yang ada di kota  Bumi Arung Palakka. Selain itu, di bagian lain ruangan terdapat Langkana atau singgasana raja, bangkai meriam tua, gambar La Tenritata Arung Palakka Raja Bone ke-15, silsilah dan susunan raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu seperti guci dan dupa yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar atau dalam bahasa Bugis mappaleppe' tinja'.

Saoraja dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30,  La Pawawoi  Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung (1895-1905) . Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja pada waktu itu sehingga disebut Saoraja. Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi Karaeng Sigeri yang bernama  Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima Perang) Kerajaan Bone oleh raja dengan persetujuan Ade' Pitue.

Saat ditempati oleh Petta Ponggawae, maka bubungan rumah atau timpa’ laja diubah menjadi empat singkap atau susun setelah sebelumnya lima singkap. Sebab, dalam tata kehidupan masyarakat Bugis, lima singkap timpa’ laja dalam bangunan rumah diperuntukkan bagi Rumah Raja dan  timpa'  laja dengan empat singkap untuk putra raja.

Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai penginapan dan untuk menjamu tamu Belanda. Dari sinilah awal penamaan Bolasoba  yang berarti rumah persahabatan atau dalam bahasa Bugis Sao Madduppa to Pole.

Selanjutnya, Bola Soba’ juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa, 1931-1946,, menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957 hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala sampai saat ini.

Saoraja telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Lokasi aslinya, terletak di Jalan Petta Ponggawae Watampone yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone di Jalan Petta Ponggawae. Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran Watampone dan terakhir di Jalan Latenritatta Watampone sejak tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982  oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1978-1983) saat itu,  Prof Dr. Daoed Joesoef.

Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya. Secara umum, Saoraja yang memiliki panjang 39,45 meter ini terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter). Selanjutnya, pada bagian dinding dan tamping, dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dengan perpaduan model swastika yaitu sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks.

Sejauh ini,  Saoraja Bone yang juga menjadi objek wisata sejarah ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, tak hanya dari dalam negeri, bahkan wisatawan macanegara . Beberapa di antaranya merupakan warga Bone yang merantau dan mengunjungi Saoraja / Bola Soba untuk melepas nazar dan meninggalkan benda-benda tertentu sebagai bagian dari pelepasan nazar. Bahkan, beberapa di antara mereka kerap mengaku masih keturunan Raja Bone ke-31 La Mappanyukki.
sumber : telukbone.org

Struktur Pemerintahan Kerajaan Bone



STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN BONE
A. ARUNG PONE (RAJA BONE) DIGELAR MANGKAU
Sebagai kepala pemerintahan di Kerajaan Bone dengan dibantu oleh 4 (empat) Kabinet antara lain :
I. PETTA POGGAWAE (PANGLIMA PERANG)
  • Bertugas di bidang Pertahanan Kerajaan Bone  dengan Membawahi 3 (tiga)  perangkat masing-masing:
  1. Anre Guru Anakkarung,  bertugas mengkoordinir para anaK bangsawan berjumlah 40 (empat puluh)  orang bertugas sebagai pasukan elit kerajaan).
  2. Pangulu Joa,  bertugas mengkordinir pasukan dari rakyat tana Bone yang disebut Passiuno artinya Pasukan Berani Mati yakni pasukan siap tempur di medan perang setiap saat rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya kerajaan Bone dari gangguan kerajaan lain.
  3. Dulung  (Panglima Daerah), bertugas mengkoordinir daerah kerajaan bawahan, di kerajaan Bone terdapat  2 (dua)  Dulung (Panglima Daerah yaitu :
  1. Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara
  2. Dulungna Awatangka dari kawasan Bone Selatan.
II. JENNANG (PENGAWAS)
  • Bertugas  mengawasi para petugas yang menangani di bidang pengawasan baik dalam lingkungan istana, maupun dengan daerah kerajaan bawahan).
III. KADHI  (ULMA)
  • Bertugas sebagai penghulu syara’ dalam bidang agama Islam. Perangkatnya terdiri dari imam, khatib, bilal.
IV. BISSU (WARIA)
  • Bertugas merawat benda-benda kerajaan Bone di samping  itu sebagai tabib  mengadakan pengobatan tradisional, juga bertugas dalam kepercayaan kepada Dewata Seuwae, setelah masuknya islam di kerajaan Bone,  kedudukan bissu di non aktifkan. Namun untuk masa sekarang kembali  dilibatkan pada acara budaya seperti perayaan hari jadi Bone.

B. ADE  PITUE  (ADAT TUJUH) KERAJAAN BONE
Ade Pitu merupakan lembaga pembantu utama pemerintahan Kerajaan Bone yang bertugas mengawasi dan membantu pemerintahan kerajaan Bone yang terdiri dari 7 (tujuh) orang yaitu :
1. ARUNG UJUNG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone
2. ARUNG PONCENG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintahan
3. ARUNG TA
  • Bertugas Bertugas Mengepalai Urusan Pendidikan dan Urusan Perkara Sipil
4. ARUNG TIBOJONG
  • Bertugas Mengepalai Urusan Perkara / Pengadilan Landschap/ Hadat Besar dan Mengawasi Urusan Perkara Pengadilan Distrik
5. ARUNG TANETE  RIATTANG
  • Bertugas Mengepalai Memegang Kas Kerajaan, Mengatur Pajak dan Mengawasi Keuangan
6. ARUNG TANETE  RIAWANG
  • Bertugas Mengepalai Pekerjaan Negeri (Landsahap Werken – Lw) Pajak Jalan  Pengawas Opzichter.
7. ARUNG MACEGE
  • Bertugas Mengepalai Pemerintahan Umum Dan Perekonomian

Jumat, 15 April 2016

Ketika Sukarno ada di Bone



 
BUNG KARNO, Beliau adalah salah satu The Founding Father Indonesia, Bapak Proklamator, Guru Bangsa, Negarawan Paripurna dan masih banyak lagi alasan mengapa Bung Karno patut dikenang.Untuk alasan kenang-mengenang masyarakat Bone secara khusus punya kenangan tersendiri dengan Presiden Pertama Indonesia ini.

Ketika Bung Karno datang ke Bone untuk pertama kalinya mengunjungi Kerajaan Bone diAwal tahun 1950 untuk bertemu dengan Raja Bone ke-32 H. Andi Mappanyukki, Ade Pitu Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyat Bone dengan satu tujuan mengajak Kerajaan Bone untuk bergabung kedalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

Seperti kebiasaan Bung Karno kalau berpidato. Di Bone pun saat itu beliau berpidato di depan Raja Bone, Ade Pitu kerajaan Bone dan rakyat Bone. Bung Karno berorasi politik diatas sebuah meja kayu sebagai panggung dadakan. Tempat kejadian bersejarah itu di gedung Ade' Pitu atau Dewan Adat Kerajaan Bone (Bola Subbi'e) segaligus sebagai bekas Istana Raja Bone ke-XXXI Lapawawoi. Masyarakat Bone lebih mengenalnya dengan sebutan ‘Bola SubbiE’ atau Rumah yang dihiasi dengan ukiran khas Bone. Saat ini gedung bersejarah tersebut dijadikan gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Bone.

Dalam foto hitam putih itu terlihat Putra Sang Fajar melepas jas kebesarannya, kemejanya dilipat sampai di bawah siku. Sebuah penampilan tak biasa bagi Bung Karno yang selalu bangga dengan jas jenderal kebesarannya. Pertanyaan pun muncul apakah pada saat itu cuaca Kerajaan Bone begitu panasnya yang memaksanya harus melepas jas ataukah itu sebagai simbol bahwa dia tidak datang ke kerajaan Bone dengan nama besarnya sebagai Presiden Indonesia tapi sebagai manusia sebangsa yang ingin menggugah kesadaran persatuan bagi Kerajaan Bone.

Pemilihan tempat pertemuan di Bola SubbiE merupakan sebuah perhitungan tersendiri. Mengapa harus disitu? Bukan di istana Raja Bone H. Andi Mappanyukki. Karena Bola SubbiE adalah bekas istana Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri yang memiliki nilai sejarah bagi Kerajaan Bone. Istana tersebut pernah dihancurkan oleh penjajah Belanda ketika Rumpa'na Bone atau Perang Bone tahun 1905. Harapannya dengan mengingatkan kembali kenangan tersebut kesadaran patriotisme dan nasionalisme rakyat Bone akan semakin tergugah untuk mempertahankan kemerdekaannya dalam bingkai persatuan nasional.

Sukarno mengawali pidatonya dengan kata " Yang Mulia Raja Bone beserta Ade' Pitu atau Dewan Adat kerajaan Bone beserta seluruhnya Rakyat Bone yang saya cintai ...". Selanjutnya dia berterima kasih telah diperkenankan hadir di kerajaan Bone. Pidatonya runtun dengan nada agak pelan namun tetap menggugah seluruh hadirin yang ada pada saat itu.

Bung Karno memaparkan pentingnya persatuan bagi seluruh rakyat dan kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara khususnya Kerajaan Bone. Jika kita bersatu padu dalam satu Negara Kesatuan Indonesia maka yakinlah bahwa Imperialisme dan Kolonialisme dapat kita singkirkan dari seluruh Bumi Nusantara. Kita sekalian akan bersatu-padu, bergotong-royong memperkuat Indonesia kita tercinta yang merdeka, berdikari dan sejajar dengan Negara-negara besar lainnya. Pesan persatuan inilah kemudian yang berhasil menggugah Raja Bone dan Ade' Pitu kerajaan Bone beserta seluruh rakyat Bone untuk bergabung kedalam Negara Kesatuan Indonesia.

Setelah kedatangan Presiden Soekarno tersebut, tidak berselang lama pertemuan kedua diadakan di Yogyakarta bertempat di Keraton Yogya. Kali ini pertemuan tersebut dihadiri oleh Raja-raja se-nusantara termasuk Raja Bone Ke-32 H. Andi Mappanyukki, Datu Luwu Andi Jemma, dan Raja Gowa Imangimangi.

Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan bersejarah bahwa tiga kerajaan besar yang ada di Sulawesi yakni Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Gowa (tiga kekuatan/kerajaan) menyatakan diri bersedia masuk dan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menindak lanjuti kesepakatan ini maka Kerajaan Bone kemudian berganti status menjadi daerah Swapraja yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Bone hingga saat ini. Sejarah pun mencatat H. Andi Mappanyukki sebagai Raja terakhir Kerajaan Bone sekaligus sebagai Kepala Daerah Bone. (H. A. Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (Kepala Daerah/Raja Bone) Tahun 1957-1960)

Jas Merah (Jangan Sekali-sekali melupakan sejarah) kata Bung Karno suatu ketika. Karena itu, Presiden Soekarno sangat pantas untuk selalu dikenang. Terlepas dari berbagai kontroversi yang sampai saat ini masih tetap melingkupinya. Tahun 1967 diawal masa kejatuhannya Putra Sang Fajar berujar : " Aku ini di puja bagai Bima dan sekaligus di benci layaknya Bandit ". Sebuah kenyataan miris dari seorang yang sangat mencintai Indonesia dengan setulus hati dan memperjuangkan Kemerdekaan Bangsa kita layaknya berjihad.

Yang jelas, Satu Kesimpulan baik suka maupun tidak, mengapa Presiden Soekarno akan selalu dikenang untuk selamanya atau paling tidak selama Indonesia masih tetap tegak berdiri dalam semesta peradaban dunia karena Bung Karno adalah salah satu alasan Indonesia ada.
sumber : telukbone.id