Selasa, 19 April 2016

Detik-detik Rumpa'na Bone




Detik-detik Rumpa’na Bone
Pendahuluan
Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31 bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri  tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Pendaratan tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), Lapawawoi Karaeng Sigeri menyatakan perang diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dukungan dari anggota Ade’ Pitu (Adat Tujuh) yaitu legislasi kerajaan Bone serta seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Di bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, Belanda melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi persenjataan tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae dan seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja / Bola Soba (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Selama Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November ) Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat senantiasa dapat melakukan kontak dan koordinasi dengannya. Adapun pusat-pusat pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain :  Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Dalam kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran serdadu Belanda juga semakin gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone mengubah  taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengkoodinir laskar-laskar kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahanannya.
Perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE ( Bobolnya Pertahanan Bone). Sedang pihak Belanda menyebutnya sebagai AKSI MILITER BELANDA TERHADAP BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Benteng Pertahanan Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Pahlawan Tana Sumnage (Tana Bone), maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE.
Tak dapat disangkal, bahwa ada segelintir kalangan yang melihat secara apriori peristiwa Rumpa’na Bone sebagai lembaran kelabu dalam sejarah perlawanan Rakyat Bone dalam menghadapi serangan serdadu Belanda. Kalangan tersebut beralasan bahwa, peristiwa Rumpa’na Bone yang ditandai dengan gugurnya Panglima Perang Kerajaan Bone (Petta Ponggawae) dan tertangkapnya Raja Bone (Lapawawoi Karaeng Sigeri) oleh tentara Belanda, menunjukkan betapa rapuhnya pertahanan Rakyat Bone melawan penjajah ?
Namun sebagian besar kalangan mengatakan, bahwa peristiwa Rumpa’na Bone yang diawali dengan perlawanan yang cukup sengit yang ditandai gugurnya ribuan laskar Bone adalah sebuah peristiwa heroik yang jarang ditemukan tandingannya. Langkah yang ditempuh oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Petta Ponggawae (Abdul hamid Baso Pagilingi) selaku Panglima Perang merupakan langkah patriotis yang cukup berani hingga rela meregang nyawa demi Tana Bone.
Kalau bukan karena jiwa patriotis, Lapawawoi Karaeng Sigeri selaku tokoh sentral perlawanan Rakyat Bone pada masa itu melawan tentara Belanda, mungkin ceritanya menjadi lain. Apakah menerima tawaran kerjasama dengan Belanda yang berarti membiarkan Komponi Belanda menjajah Kerajaan Bone?. Namun yang pasti hal itu tak mungkin terjadi, karena ribuan Laskar Kerajaan Bone yang terkapar bersimbah darah di sepanjang pantai Bajoe. Para suhada Bugis tersebut didorong oleh SIRI  NA PESSE (Malu dan Harga Diri) untuk mempertahankan tanah tumpah daerahnya dari penjajahan Belanda.
Dalam kenyataannya memang harus diakui, bahwa persenjataan Belanda yang lengkap ditunjang dengan ketangguhan personil militernya jauh berada di atas bila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh Laskar Kerajaan Bone. Tetapi ketika kita mengenang kisah perlawanan Lapawawoi Karaeng Sigeri terhadap Belanda yang pada akhirnya Petta Ponggawae Gugur dan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri tertawan, maka seyogianya patut dikenang dan direnungkan oleh generasi berikutnya. Apa bentuk apresiasi generasi terhadap para pejuang-pejuang Tana Sumange?
Detik-detik Rumpa’na Bone
Balada Heroik Lapawawoi Karaeng Sigeri
Adalah seorang Raja Bugis dari Tana Sumange melawan Belanda si Mata Pute. Dengan semangat patriotik membara, dan jiwa kesatria yang mendidih, didorong oleh Toddo’ Siri, na pesse’.  Terkenang dan terlukis indah di lembaran sejarah. Terpatri abadi di hati Rakyat Bone . Dari generasi ke generasi selanjutnya. Sebagai bukti keteguhan hati nurani. Orang Bugis berdarah Wija To Bone
Beliau adalah Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31.  Bersama putranya yang gagah perkasa Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi. Panglima Perang Kerajaan Bone. Didukung oleh hadat Tujuh Bone. Dan Seluruh pimpinan Laskar pemberani. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Mengangkat senjata melawan penjajah. Hingga tetes darah penghabisan.
Dalam sejarah Bone disebutkan. Awal pecahnya perang yang dahsyat. Di pantai Timur Celebes Selatan. Di Pagi yang sejuk pada bulan Juli 1905. Ketika matahari mulai merekah. Di ufuk timur tiada berawan. Memancarkan cahaya indah keemasan. Menyepuh seantero Kerajaan Bone. Begitu indah ciptaan sang Khalik. Di Baruga Saoraja Bone nawala-wala suji ri Langkana nan asri. Lapawawoi Karaeng Sigeri dan permaisuri. Duduk tenang di atas Tappere Boddong. Tikar bersegi Enam Rituddukeng Lamangolokkelling Cempanigae. Diapit Pattetteng dan Jiwa pemberani.
Di bawah nuangan Teddung Pulaweng dan bendera Kerajaan SamparajaE. Arungpone bersama permaisuri. Dihibur Tari Pajoge dan lagu Ongkona Bone oleh Bissu pengawal setia Saoraja. Gendang dipukul bertalu-talu. Lagu berdendang begitu syahdu. Lemah gemulai penari bisu. Indah nian menyejukkan hati. Mengikuti irama klasik Tana Ugi.  Di hati Arungpone dan permaisuri. Timbul kekaguman yang sangat mendalam. Betapa tinggi budaya Leluhur. Warisan Kerajaan Bone di Tanah Ugi. Kembanggaan SEMPUGI di Celebes Selatan.
Langit Kerajaan Bone pagi itu. Nampak cerah diliputi udara sejuk. Tak terbayang akan datang mendung kelabu. Tak terpikir akan munculnya prahara. Yang membuat Tana Ugi bergolak.m Di atas Singgasana Kerajaan Bone. Arungpone bersama permaisuri. Nampak tegar dan tenang penuh wibawa. Di wajahnya terbaca gurat kepemimpinan. Selaku raja yang bijak dan berhati jernih. Seorang Pengawal datang melapor. Atas datangnya utusan Arung Tanete. Untuk menyampaikan suatu berita. Dari Hasil pengamatan di sepanjang pantai. Antara Ujung Pattiro-Ujung Pallette.
Kemeriahan pun seperti tersentak. Bunyi gendang, suling, dan kecapi. Semua berhenti tak lagi terdengar. Gerak gemulai penari-penari Bissu. Nampak terkulai seperti lesu dan kaku. Keluarga Saoraja diliputi kecemasan. Di wajah permaisuri terbaca kebingungan. Kecuali Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Kelihatan tetap tegar dan sangat tenang. Menanti berita dari utusan Arung Tanete.
Hasil pengamatan Arung Tanete. Di sana di Perairan Teluk Bone. Kelihatan banyak kapal beriring-iring. Berlayar dari selatan menuju utara. Semakin dekat di Pantai Bajoe. Mendengar itu, Arungpone tertunduk. Lalu bangkit menganggukkan kepala. Menyimak dalam lubuk hatinya. Akan makna laporan dari Arung Tanete. Entah gejolak apa yang timbul di benaknya. Tatapan matanya menerawang jauh. Memandangi cakrawala tak terbatas.. Ada kemelut yang sulit dipecahkannya. Menimbulkan seribu tanda tanya. Di hati permaisuri dan keluarga Saoraja.
Dengan suara datar Arungpone bertutur. Mengungkap misteri laporan Arung Tanete. Bahwa kapal-kapal yang beriring-iring. Di sana di perairan Teluk Bone Adalah milik Belanda si Putih Mata. Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menitip pesan kepada Arung Tanete. Agar tetap melakukan pengamatan. Akan maksud kedatangan kapal Belanda. Yang semakin mendekat di Pantai Bajoe. Sebab menurut pikiran Arungpone. Belanda selalu berupaya untuk mencaplok dan menjajah. Menanamkan kuku-kukunya di atas bumi Kerajaan Bone yang subur. Kepada Arung Tanete dan Rakyatnya. Arumpone minta agar tetap tenang. Menunggu perintah dari Saoraja. Dari kesepakatan antara Mangkau’E. Dengan segenap anggota Hadat Bone.
            Kesepakatan dan kebulatan tekad. Dari pemikiran dan pertimbangan yang jernih. Untuk membela dan mempertahankan. Kerajaan Bone dan Seluruh Rakyatnya. Dari cengkeraman tangan-tangan penjajah. Kecemasan dan kegelisahan permaisuri. Nampak jelas di wajahnya yang bening. Dengan pandangan sayu menatap arungpone. Mengharap jawaban penyejuk hati. Tentang kedatangan kapal-kapal Belanda. Sementara di perairan Teluk Bone. Berkumpul eskader kapal perang Belanda. H.M. Hendrik Hertog pembawa bendera. Diatasnya Komandan Eskader Matra Laut. Mengadakan rapat dengan Panglima Tempur. .Melalui teropong dari atas kapal. Nampak keindahan alam Kerajaan Bone. Sawah dan ladang terbentang luas. Pohon lontar dan nyiur melambai-lambai. Sungai-sungai mengalir dengan jernih. Bukit dan gunung berhutan lebat. Binatang ternak berlarian kian kemari. Burung-burung beterbangan di udara. Ombak memutih memecah pantai. Panorama alam indah menawan hati.
Keindahan itulah membuat Belanda semakin bernafsu. Untuk segera melakukan pendaratan. Bagai kelompok singa kelaparan. Mengintai buruannya di balik belukar. Suasana di Saoraja semakin galau. Seluruh penghuni dicekam kecemasan. Permaisuri melangkahi mendekati Arungpone yang tetap tegar dan tenang di tempatnya. Selaku raja yang berpikiran tajam. Dengan suara lembut permaisuri bertanya. Apa betul kapal-kapal itu milik Belanda. Datang untuk menyerang Kerajaan Bone. Lalu bagaimana langkah-langkah Arungpone. Dalam mempertahankan dan menyelamatkan rakyatnya. .Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Membujuk permaisuri yang nampak gelisah. Menenagkan gejolak dalam hati dan pikirannya. Tawakkal kepada Allah dan Nabi-Nya. Tellabu Essoe ri Tengngana Bitarae. Segalanya berjalan menurut kodratnya. Demikian Arungpone membujuk permaisuri. Dan segenap keluarga penghuni Saoraja. Yang nampak bingung penuh kecemasan.
Arungpone tetap yakin dan percaya. Kerajaan Bone sangat kuat dan tangguh. Dengan ribuan Laskar Pakkanna Passiuno. Yang rela mati berlumuran darah merah. Dari pada hidup di jajah Belanda. Belanda boleh menerobos pertahanan Bone. Setelah melangkahi ribuan laskar. Dengan semangat patriotis sejati. Siap bertarung di Walawala Bessie. Bermandi darah di Appasareng Kannae. Mendung kelabu di atas kerajaan Bone. Nampak semakin tebal, pekat dan hitam. Pertanda bakal datangnya malapetaka. Angin puting beliung telah berhembus. Disertai Guntur dan kilat menyambar-nyambar. .Permaisuri kelihatan semakin gelisah. Arungpone seperti tak berhenti berpikir. Penghuni Saoraja dicekik ketakutan. Perang bakal berkobar meminta korban. Tana Ugi sebentar lagi bersimbah darah.
Dalam suasana yang semakin galau. Seorang lagi pengawal datang melapor. Atas kedatangan dua orang tamu asing. Karaeng Marusu bersama temannya. Utusan Belanda dari perairan Teluk Bone Laporan itu mengejutkan permaisuri. Kekesalan di hatinya terbayang di wajahnya. Meluap bagai nyala api dihembus angin. Dengan kalimat meledak tak terkendali. Menolak kedatangan utusan Belanda. Bangkit berdiri Sang Permaisuri. Melepas uneg-uneg yang menggurita. Dalam hatinya yang panas membara. Agar Karaeng Marusu bersama temannya tidak memasuki halaman Saoraja. .Arungpone yang bijak berhati lembut. Kembali menenangkan permaisuri. Menyiram nyala api yang meluap. Agar tidak menampakkan kekesalan kepada karaeng Marusu bersama teman.
Sementara itu di pintu Saoraja yang dijaga pengawal. Karaeng Marusu bersama temannya. Membungkuk memberi penghormatan. Lalu keduanya langsung duduk bersila di depan Arungpone dan Permaisuri. Dengan kalimat bergetar putus-putus. Karaeng Marusu kepada arungpone. Bahwa dirinya utusan Komandan Belanda. Yang sekarang berada di atas kapal. Menunggu kabar di perairan Teluk Bone. Tertegun Lapawawoi Karaeng Sigeri. Menyimak berita dari utusan Belanda. Berpikir dan berpikir mencari yang terbaik. Gurat-gurat kewibawaan kembali terbaca di wajahnya yang nampak semakin menua. Kemudian memandang jauh ke depan. Sejauh analiasa dan bisikan hatinya. Membayangkan Kerajaan bone yang subur buminya. Membayangkan wajah-wajah Rakyatnya. Selaku raja yang memiliki firasat. Nalar dan mata batin yang tajam. Kalimat yang sarat makna filosofi. Arungpone menjawab tawaran Belanda. Kepada karaeng Marusu bersama temannya. Arungpone menyemak dan memahami. Kedatangan Belanda di Teluk Bone. Namun tidak bisa bertindak sendiri. Untuk menerimanya mentah-mentah. Harus didukung oleh Hadat Tujuh Kerajaan Bone.
Dengan kalimat putus-putus dan ragu. Karaeng Marusu mengajukan pertanyaan. Tentang sikap dan langkah Arungpone. Menerima atau menolak tawaran Belanda. Karena dia tidak bisa berlama-lama. Dengan tenang Arungpone menjawab. Di Kerajaan Bone yang saya cintai ini. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Disebut “ Ade Mappura Onrona Bone” Warisan Leluhur yang dijunjung tinggi. Apapun yang akan dilakukan di Bone. Harus lahir dari musyawarah dan mufakat. Antara Mangkau selaku raja disitu pihak. Dan anggota Hadat Bone dilain pihak. Sebagai wujud demokrasi sejati. Jadi tentang maksud tawaran Belanda. Arungpone tidak bisa menetukan sekarang. Menunggu hasil musyawarah dan mufakat. Diterima sebagai awal suatu persahabatan. Atau ditolak sebagai awal pecahnya perang.
Setelah mendengarkan pesan Arungpone. Karaeng Marusu dan temannya mohon pamit. Dengan langkah gontai meninggalkan saoraja. Berjalan ke arah timur menuju Pantai Bajoe. Dengan hati yang dongkol, kesal dan kecewa. Di Pelabuhan Bajoe keduanya naik sampan. Menuju kapal S.S.Riemsdijk di Teluk Bone. Di mana Panglima ekspedisi van Loenen. Dengan perasaan cemas penuh harap. Telah lama menunggu kedatangannya. Di depan Panglima Ekspedisi Van Loenen. Karaeng Marusu dan temannya menyampaikan. Pesan yang mengisyaratkan penolakan dari Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Raja yang mematuhi kehendak rakyatnya. Kabar itu membuat Van Loenen naik darah. Kehendaknya dilecehkan dan tidak digubris. Wajah bengis memandang ke arah pantai. Nafsu serakahnya menggerogoti kepikirannya. Menyerang Bone dengan kekuatan senjata. Suatu ultimatum bernada ancaman. Ditulisnya dengan emosi meluap-luap. Dalam tempo satu kali dua puluh empat jam. Kehendak tidak diiyakan dan dipenuhi. Maka Kerajaan Bone segera dibumihanguskan. Ultimatum Tertanggal 19 Juli 1905. Diberikan kepada La Pattola Daeng Massappo. Orang Bone yang diinterner di Ujung Pandang. Agar secepatnya diberikan kepada Arungpone.
Menerima Ultimatum dan ancaman demikian. Tidak membuat hati Arumpone menjadi gentar. Sebagai Raja Bugis yang mempunyai harga diri. Darah Bugis dan patriotisnya mendidih. Bertekad melawan Belanda Si Putih Mata. Baginya tidak ada kata untuk menyerah. Apalagi tunduk di bawah kekuasaan penjajah. Harga diri sebagai Orang Bugis Wija To Bone. Toddopuli Siri Napesse harus ditegakkan. Demikian bisikan yang muncul di hatinya. Segenap Anggota hadat Tujuh diundang. Arung Ponceng, Arung Tanete Riawang, Arung Macege, Arung Tanete Riattang, Arung Ta’, Arung Ujung, Arung Tibojong. Agar segera datang berkumpul di Saoraja. Diundang pula Abdul Hamid Baso Pagilingi. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Bersama Seluruh pimpinan Laskar Pemberani. Untuk datang memenuhi undangan Arungpone. Guna menanggapi Ultimatum dari Belanda. Hanya berselang beberapa saat saja. Semasih daun sirih belum hancur terkunyah. Dan periuk di dapur belum juga mendidih. Para undangan berdatangan dari segala arah. Semua hadir memenuhi undangan Arumpone.
Setelah semuanya tenang di tempat duduk. Arung Ponceng bertanya kepada Arungpone. Mungkin ada sesuatu yang penting dibicarakan. Sehingga Puatta Arungpone mengundang kita. Untuk datang dan berkumpul di Saoraja. Sebelum mengemukakan maksud undangannya. Arungpone menatap satu-satu tamu yang hadir. Tatapannya mulai dari anggota hadat Tujuh Bone. Sampai kepada Abdul Hamid Baso Pagilingi. Dan Pimpinan Laskar Pakkanna Passiuno. Dengan suara serak-serak basah. Lapawawoi Karaeng Sigeri mulai bicara. Sebagai Orang Bugis yang punya harga diri. Yang menjunjung tinggi Ade- Pangadereng. Kita perlu menyatakan pendapat. Semua yang hadir nampak semakin gelisah. Menunggu lanjutan pembicaraan Arungpone. Membuat suasana menjadi hening sejenak. Tak seorangpun yang mengeluarkan kata. Sementara Permaisuri nampak tertunduk. Dengan tarikan nafas yang panjang. Arungpone melanjutkan pembicaraan. Tentang datangnya dua orang utusan Belanda. Mengajak untuk menjalin kerjasama. Mengelola Pelabuhan Pallime dan Bajoe.
Selanjutnya Belanda akan mempersatukan. Jumpandang, Bone, Luwu, dan Tanah Toraja. Menurut pikiran Lapawawoi Karaeng Sigeri. Itu merupakan awal dari sebuah jebakan. Untuk menggiring ke dalam bentuk penjajahan. Dari saku Arungpone ditariknya secarik kertas. Ultimatum yang diterimanya dari Belanda. Kalau keinginan yang ditawarkan ditolak. Kerajaan Bone akan diserang dan dihancurkan. Dalam tempo satu kali duapuluh empat jam. .Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Baso Pagilingi Petta Ponggawae naik darah. Berdiri dan menghormat kepada Arungpone. Selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Jiwa patriotis, semangat kesatrianya tergugah. Menurut pandangan mata batinnya. Suatu malapetaka terbayang di depannya. Kerajaan Bone akan hancur porak-poranda. Seluruh rakyatnya hidup di bawah penjajahan. Apabila keinginan Belanda itu diterima. kemudian Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Memohon ampun kepada Ayahandanya. Juga kepada Seluruh anggota Hadat Bone. Agar mempertimbangkan matang-matang. Untuk menerima ajakan dan tawaran Belanda. Sebab menurut yang muncul di benaknya. Belanda tidak bisa dipercaya omongannya. Pantang untuk diikuti segala keinginannya. Apalagi menerima apa yang ditawarkannya. Di hatinya sejali sekalindang sifat penjajah. .Berdiri menghormat pula Arung Ponceng. Salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone. Membenarkan ucapan Petta Ponggawe. Diamini oleh anggota hadat Tujuh lainnya. Menolak tawaran Belanda Si Putih Mata.
Dulung Ajangale, Lamuru, Awang Tangka, arung Palili dan Pimpinan Laskar pemberani. Menyatakan siap mengamankan kesepakatan. Arungpone dengan Hadat Tujuh Bone. Walau harus ditebus dengan harta dan nyawa. Lapawawoi Karaeng Sigeri kecintaan rakyat. Memandang ke kiri, ke kanan lalu tersenyum. Ini namanya terpaut ujung dan pangkalnya. Telah bertemu pula buku dan ruasnya. Pedapatnya seirama pendapat rakyatnya. Dengan gurat-gurat usia yang nampak menua. Arunpone mengajak semua yang hadir. Menggalang kekuatan menghimpun tenaga. Mengangkat senjata melawan penjajah. Membela Kerajaan Bone dan rakyatnya. Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae. Selaku Panglima Perang mendapat perintah menghimpun kekuatan. Untuk menghadapi serangan serdadu Belanda. Mulai Ujung Pattiro hingga Ujung Pallette. Perintah yang sangat ditunggu-tunggu. Disambutnya dengan mengucapkan ikrar. Berdiri dan mencabut keris “Raja Bagusu” keris pusakanya yang selalu menyertainya. Diayunkan ke kiri maupun ke kanan penuh semangat. Matanya merah menyorot bagai bara api. Bersumpah dan berikrar untuk tetap setia. Membela dan mempertahankan Kerajaan Bone. Rela mati ditembus peluru penjajah. .Mendengar ikrar Baso Pagilingi. Semangat Patriotik hadirin seperti tersulut api. Gelora jiwa kesatria nampak terbaca. Di wajah para pemberani Kerajaan Bone. Arungpone tenang dan tegar di tempatnya. Tidak ketinggalan pula Arung Tanete. Dengan sorotan mata menyala-nyala. Memberi hormat kepada Arungpone. Mencabut keris pusaka kesayangannya. Mengucapkan ikrar menghadapi Belanda.
Darah kesatria Arung Sailong tergugah. Semangat membara membatu. Diteriakkan dengan lantang ikrarnya di depan Arungpone dan Permaisuri. Dan Seluruh undangan yang hadir. Setelah sejumlah Pakkanna Passiuno. Mengucapkan ikrar masing-masing. Berdirilah Permaisuri dengan tegarnya. Mendekati Baso Pagilingi lalu menepuk bahunya membakar semangatnya. Berdoa kepada Allah dan Nabi-Nya. Semoga melindungi dari serangan musuh. Semoga Seluruh Laskar Kerajaan Bone. Diberi kekuatan dan kemampuan tempur menghadapi Belanda. Setelah diberkahi kedua orang tuanya. Baso Pagilingi selaku Panglima Perang Kerajaan Bone. Begitu gagah melangkahi ke depan. Mengarah ke timur menuju medang juang. Diikuti oleh Laskar Passiuno. Di hatinya hanya dua pilihan. Hidup atau mati demi Tana Ugi. Siri na Pesse mendorong langkahnya.
Rerumputan dan bebatuan sepanjang jalan. Seperti memberinya semangat untuk maju. Menantang keangkuhan serdadu Belanda. Yang kini berada di perairan Teluk Bone. Siap memuntahkan peluru meriamnya. Di Bawah Komando Petta Ponggawae. Kelompok Laskar dibagi dalam tiga arah. Kelompok pertama menuju Ujung Pattiro. Kelompok kedua menuju Lona dan BajoE. Kelompok ketiga menuju Ujung Pallette. Sepanjang jalan yang dilaluinya. Menuju medan perang yang dahsyat. Para Laskar dengan semangat menyala. Terus melengkingkan” Osong Pakkanna. “Ada Passokkang” lagu perjuangan. Bagai lebah beterbangan di udara bebas. Membuatnya tak gentar, nyalinya tak ciut. Tombak dan kelewang diayun-ayunkan. Pedang dan keris pusaka dihunuskan. Meriam dan senapan ringan disiagakan. Dari pantai Bajoe hingga Ujung Pallette. Dan di Ujung Pattiro bahagian selatan. Dipenuhi ribuan Laskar Kerajaan Bone. Mendengungkan Osong Pakkanna. Siap menghadapi pendaratan Belanda.
Di atas kapal H.M.Koningin Regentes. Panglima ekspedisi Belanda Van Loenen. Mengamati tempat yang layak untuk pendaratan. Lewat teropong pengintai dari atas kapal. Dari Ujung Pattiro ke Ujung Pallette. Pada Tanggal 21 Juli 1905  Kapal-kapal Belanda semakin mendekat. Suatu pertanda pendaratan akan dilakukan. Sekoci-sekocipun mulai diturunkan. Pukul 05.50 wita ketika matahari menukik ke peraduannya. Van Loenen dari kapal S.S.Van Riemsdijk. Mengeluarkan perintah pendaratan. Berarti perang terbuka mulai berkobar. Dentuman meriam dan senapan ringan. Terdengar gemuruh memekakkan telinga. Dimuntahkan dari atas kapal ke arah pantai. Dibalas oleh Laskar Pemberani Kerajaan Bone. Dari pantai Bajoe, Lona, dan Tippulue. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan. Laskar Kerajaan Bone bertahan mati-matian. Mengadu kekuatan dan meregang nyawa. Sementara serangan Belanda semakin gencar. Mengarah ke Tippulue dan Kampung Lona. Ponggawa Bone membakar semangat Laskarnya. Semboyan Siri Na Pesse diteriakkan lantang. Disambut sorak-sorai para Laskar Passiuno. Semua maju menyongsong kedatangan Belanda.
Arena pertempuran mencekam dan menakutkan. Kilat-kilat peluru berhamburan di udara leluhur Bugis. Bola-bola api beterbangan silang-menyilang. Pemandangan yang langka bagi Rakyat Bone. Pantai Bajoe bagai neraka mengerikan. Jatuh tersungkur sejumlah Laskar Passiuno (Pasukan berani mati) berguguran bagai kembang semerbakwangi. Cucuran darah merah terlihat di mana-mana. Menganak sungai di Bumi leluhur Bone. Pahlawan Tana Ugi mengukir sejarah. Banyak Laskar tak sempat dibalut lukanya. Banyak juga tak sempat dikenal wajahnya. Tergeletak berlumuran darah di mana-mana. Tak ubahnya onggokan batang pisang. Di alur-alur sungai dan ditengah persawahan demi mempertahankan Tana Sumange’ Tana Bone. Udara pesisir Timur Tana Bone malam itu. Sungguh sangat mencekam memalukan. Muntahan peluru meriam adalah pandangan mengerikan. Bagai bintang berguguran dari langit yang biru. Gugurlah pahlawan-pahlawan Tana Ugi ialah Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere  Dulung Ajangale dari Bone Utara. Begitu pula Arung Sigeri Keluarga Arungpone. Dan sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya. Serangan serdadu Belanda semakin membabi buta. Laskar Kerajaan Bone mundur ke arah barat. Petta Ponggawae tetap bertahan di Cellu. Daeng Marola Arung Ponre terkena peluru namun nafas masih ada. Diantar oleh sejumlah laskar menuju Saoraja.
Di tengah berkecamuknya pertempuran. Petta Ponggawae mengirim pesan ke Saoraja. Agar Puatta Arungpone berpindah tempat. Dari saoraja ke Palakka yang lebih aman. Bersama Seluruh keluarga dan isi Saoraja. Menerima pesan dari Petta Ponggawae. Arungpone minta pandangan permaisuri. Juga kepada Arung Ponre Daeng Marola. Yang tiba di Saoraja dalam keadaan luka. Bertahan di Saoraja atau berpindah ke Palakka. Kepada Arungpone Lapawawoi Karaeng Sigeri. Arung Ponre dengan hormat melaporkan. Bahwa Laskar Bone tak dapat lagi membendung serangan Belanda. Persenjataan sangat tidak seimbang. Perlu pertimbangan untuk mundur selangkah untuk maju seribu kali. Setelah bertukar pendapat dengan Permaisuri. Dan segenap keluarga Saoraja lainnya. Memperhitungkan baik dan buruknya. Prinsip berpindah tempat bukan berarti kalah. Namun sebagai langkah penyelamatan terhadap Arungpone. Usungan disiapkan untuk Puatta Arungpone. Benda-benda Kerajaan dikemas oleh para Bissu pengawal Saoraja. Tombak dan bendera SamparajaE disiapkan. Tinggal menunggu perintah dari Arungpone. Lapawawoi Karaeng Sigeri di atas usungan. Sejenak memandangi Puncak Saoraja. Bagai mengucapkan selamat tinggal istanaku. Bila Allah dan nabi-Nya memberiku kekuatan. Akan aku kembali bernaung di bawah atapmu.
Diikuti oleh permaisuri dan warga Saoraja berjalan ke arah barat melewati Coppo’ Meru dengan pengawalan ketat dari laskar kerajaan Bone, akhirnya sampailah di tempat bernama Palakka dan disambut oleh rakyat yang setia. Sementara itu di sekitar Lona, Cellu, dan Tippulue pertempuran sengit sedang berkobar. Suasana semakin mencekam dan mengerikan. Dua ribu laskar kerajaan Bone bertahan mati-matian di sepanjang pantai Teluk Bone. Tembakan sporadis serdadu Belanda semakin dahsyat membabi buta dan dibalas oleh lascar pemeberani kerajaan Bone. Banyak pohon lontar dan pohon kelapa yang tumbang terkena peluru meriam dari tentara Belanda. Berjatuhanlah korban kedua belah pihak. Demikian pula rakyat tak bedosa roboh bersimbah darah mencium Tana Sumange’ Tana Bone tercinta.
Sementara itu, sepeninggal Arungpone dan Permaisuri, keadaan Saoraja Nampak sepi dan lengang, hanya dijaga oleh 2 orang lascar passiuno (laskar berani mati). Dengan pandangan liar mengawasi musuh yang kedengarannya semakin mendekat. Kemudian Petta Ponggawae muncul dari arah timur bersama rombongan menuju Saoraja. Singgah sejenak menitip pesan kepada penjaga bila keadaan terdesak, “selamatkan diri wahai anakku” kemudian menyusul Arungpone ke Palakka. Sementara itu pendaratan serdadu Belanda berhasil, komandan Eskader di belakang lini pendaratan mengeluarkan isyarat, agar tembakan dihentikan untuk memberi kesempatan serdadu yang mendarat dan menjelajahi tempat sebelah timur Watampone.
Pada tanggal  Juli 1905  Debarkasi pendaratan Belanda telah selesai gerakan Serdadunya berlanjut ke Watampone Saoraja Arumpone yang telah dikosongkan menjadi tempat marsose dan staf serdadu. Sebahagian serdadu mendirikan kemah memasang telepon untuk alat komunikasi Disebelah selatan masjid Watampone berpesta pora, bernyanyi dan menari-nari meraih kemenangan dalam pertempuran. Keesokan harinya sebelum matahari terbit terjadi kontak senjata di sekitar Palakka cucuran darah kembali membasahi bumi Sersan Eibes dari marsose tewas tertembak dua ekor kuda kavaleri Belanda juga mati. Sementara perlawanan Laskar kerajaan Bone Di Ujung Pallette, TippuluE dan Lona tetap berlanjut mengacaukan starategi musuh Letnan Pathest seorang Komandan marsose tewas di cincang oleh lascar pemberani. Puluhan serdadu Belanda lainnya luka-luka duratus lebih lascar Kerajaan Bone gugur tersungkur berjatuhan mencium bumi sebagai pahlawan Bone yang perkasatak sempat dipancang batu nisannya. Dalam mencari jejak Arumpone serombongan ternyata Belanda selalu menemui kegagalan penunjuk jalan yang tetap mencintai Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri selalu menunjukkan jalan yang  berlawanan. Arumpone dan rombongan menuju Pasempe serdadu Belanda diarahkan menuju Tajong di tajong Belanda bertanya tentang Arumpone tetapi rakyat tetap menyembunyikannya serdadu Belanda kembali ke Watampone.
Di Saoraja yang telah diduduki Belanda seorang pengkhianat datang melapor tentang keberadaan Arumpone serombongan didaerah pegunungan bernama Pasempe suatu daerah yang berhutan lebat dan berbatu. La Pawawoi Karaeng Sigeri dan Permaisuri disambut Arung Pasempe dekat Ureng melalui jalan setapak diantar ke Pasempe sementara ratusan lascar bersenjata lengkap menghadang serdadu Belanda dekat pasar Usa. Di Pasempe Arumpone disambut oleh rakyatnya banyak penduduk datang menemuinya menyatakan kesediaan dan kesiapan siap membantu apabla Belanda tetap melakukan pelacakan dimana Arumpone dan rombongan berada. Petta PonggawaE menemui Arumpone di tempat persembunyiannya di Pasempe melaporkan Belanda telah menguasai Saoraja kedua petinggi Kerajaan Bone bergabung mengatur startegi, melanjutkan perjuangan. Keduanya sepakat merubah taktik perang dari perang terbuka menjadi perang Geriliya mengingat medan yang berhutan lebat daerah pegunungan dengan tebing terjal banyak sungai yang deras dengan rawa-rawa. Menginap semalam dirumah Arung Pasempe sambil mengamati serdadu-serdadu Belanda menerima laopran dari pimpinan lascar yang tetap mengadakan perlawanan dipesisir timur pantai kerajaan Bone.
Berdasarkan laporan dari pengkhianat Arumpone dan serombongan berada di Pasempe tempat ini telah lama dikenal oleh Belanda sebagai pertahanan Arumpone yang kuat dengan medan yang sulit untuk dijangkau. Dengan mengambil jalan sungai Palakka serdadu Belanda turun jurang dekat Usa pasukan depan ditembak dari atas tebing yang dilancarkan oleh lascar Kerajaan Bone membuat serdadu Belanda kocar-kacir.  Mereka berlarian mencari tempat yang aman berlindung dibawah tebing-tebing batubagaikan anak ayam disambar burung elang akhirnya Komandannya member perintah untuk mundur kemali ke Watampone. Subuh hari sebelum matahari menyingsing Arumpone segera meninggalkan Pasempe dengan pengawalan bersenjata lengkap mersama keluarga berangkat ke Gottang daerah pegunungan sebelah barat Pasempe. Petta PonggawaE bersama sejumlah lascar menghadang serdadu Belanda di Cinennung pos pengintai dipasang dipuncak bukit siap member tanda dengan bunyi kentongan bila serdadu Belanda terlihat dari jauh.
Utusan Dulung Awang Tangka dari selatan Cambang Mattemmuna Bojo yang perkasa datang menemui Arumpone di Gittang menyampaikan kesiapan laskar Bone Selatan membendung serbuan Belanda dari Balannipa. Laskar-laskar pemberani Bone Selatan siap bertahan di selatan Kerajaan Bone menghimpun tenaga, menggalang kekuatan semangat berkobar bagaikan nyala api membakar rerumputan dipadang kering. Tersebut dalam kisah, tercatat dalam sejarah pimpinan lascar diselatan kerajaan Bone
          - Calabinna Buhu dan Bali’ Cilampana Mare
          - Balibinna Labuaja, Dunrumpulawenna Gona
          - Termasuk Cambang Mattemmunna Bojo
Bersuka hati Aumpone dan Permaisuri mengdengar berita dari Dulung Awang Tangka satu pertanda dan bukti yang sangat nyata bahwa seluruh rakyat di Kerajaan Bone tetap mencintai Arumpone pemimpinnya. La Pawawoi Karaeng Sigeri berpesan kepada Dulung Awang Tangka serta laskarnya agar tetap mengobarkan semangat pakkanna Mabbulo Sipeppa  melawan penjajah Belanda demi mempertahankan kerajaan Bone. Walaupun Gottang tempat sulit dijangkau tetapi Arumpone tetap merasa kurang aman  Belanda tetap berupaya menemukannya tetapi mencari petunjuk yang jelas dimana tempat Arumpone bersembunyi.  Bersama Baso Arung Pagilingi dan Arung Macege Arumpone meninggalkan Gottang menuruni lembah, menyebrangi sungai akhirnya sampai di Alekale dekat Bengo daerah pegunungan yang berhutan lebat. Di Alekale Arumpone menerima laporan keberadaan sejumlah serdadu Belanda Dikampung Cani, Maroanging dan Nengo lalu lascar-laskar Arung pimpinan Arung Bengo menghadangnya di Sumpang Labbu dan Koppe. Banya penduduk menemui Arumpone ditempat persembunyiannya di Alekale dari Bngo, Malaka, Taka, Tanatengnga menyatakan kesiapan untuk membantu apabila serdadu Belanda datang menyerang. Sementara dibagian selatan kerajaan Bone pertempuran berkobar dengan sengitnya Laskar pemberani pimpinan Arung Labuaja menghadang serdadu belanda dari arah Sinjai kedua belah pihak berjatuhan, berkaparan.
Laskar Kerajaan Bone berjuang mati-matian menyerang bagaikan serigala kelaparan membuat serdadu Belanda kocar-kacir mencari perlindungan menyelamatkan diri dari tebasan kelewang, keris, dan tombak. Janj  Arung Labuaja kepada Arumpone bukan isapan jempol penu kepalsuan tetapi dibuktikan dengan tindakan nyata semangat pakkanna terus dikobarkan siang dan malam terus bertempur. Dikampung Mangopi dekat Sinjai Arung Labuaja membakar kemah Belanda seorang serdadu Belanda tewas mengenaskan dicincang oleh lascar Arung Labuaja puluhan lainnya luka-luka terkena tombak. Di Alekale tempat Arumpone istirahat terdengar kabar Belanda semakin dekat maka dengan pertimbangan keamanan bagi Arumpone dan segenap keluarga segera meninggalkan tempat itu. Sebelum matahari terbit di ufuk timur Arumpone, Permaisuri, segnap keluarga didampingi Baso Pagilingi dan Arung Macege meninggalkan Alekale menuju kearah barat melewati Lappa Bengo, menyebrangi sungai. Banyak penduduk menjemput kedatangannya dipinggir sungai WalannaE, dengan lepa-lepa menyebrangkan Arumpone dan rombongan selanjutnya berjalan menuju daerah Lamuru Lili Paseajingeng Bone dengan Soppeng.  Sebagai wujud kecintaan dan kesetiaan kepada La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai mangkau’ berhati lembut penduduk menyiapkan apa yang dibutuhkan dipenuhi apa yang semua diperlukannya.
Mendengar kedatangan Arumpone di Lamuru datu Soppeng datang untuk menemuinya kepada Arumpone, datu Soppeng menyarankan agar berpinda ke Citta dekat Pacongkang karena Lamuru telah diuber serdadu Belanda. Saran Datu Soppeng diterima Arumpone berkemaslah Arumpone serombongan untuk berangkat menuju kedaerah Citta kuda beban dan perbekalan disiapkan sejumlah penduduk siap menemaninya. Setelah berpamitan dengan Datu Soppeng, Arumpone serombongan berjalan ke utara melewati padang luas, menyeberangi sungai mendaki gunung, menuruni lembah-lembah tidak merasakan panas dan dingin dijalan. Melelahkan, akhirnya sampai di Citta alamnya sejuk dengan pohon yang rindang di tepian sungai WalannaE, mengalir tenang sementara Sulewatang Citta menyiapkan pemondokan untuk tempat istirahat serombongan. Setelah istirahat dua hari di Citta, Arumpone menerima kiriman Arung Amali 50 pucuk senjata bersama laskarnya guna memperkuat pengawalan Arumpone yang pantang menyerah terhadap Belanda.
Berita keberadaan Arumpone dan pengikutnya bagi serdadu Belanda semakin simpang-siur operasi militernya untuk memburu Arumpone selalu saja gagal, mengalami jalan buntu jejak-jejak Arumpone tak terpantau olehnya. Perhatian Belanda beralih kedaerah Wajo mengingat kedekatan Wajo dengan Bone kekuatan utamanya pindah ke Pompanua bukan hanya untuk menghadapi Wajo semata tetapi juga untuk Soppeng dan Sedenreng. Sungai Cenrana diteliti dengan saksama, Laskar Arung Bola bertahan dimuara Cenrana membuat gerakan serdadu Belanda terhalang. Keesokan harinya kembali ke Pompanua membuat rencana, menyusun strategi baru.  Di Citta Arumpone dan pengikutnya walau bertekad bertahan mati-matian namun berubah pikiran untuk berpindah pertahanannya dialihkan ke kampung Barang atas usul Baso Pagilingi dan Arung Macege. Dipagi buta sebelum matahari terbit firasat buruk menggoda benak Arumpone seperti firasat yang selalu dialaminya kampong Barang diketahui serdadu Belanda lalu ditinggalkannya, entah mau kemana. Dikawal ketat oleh laskar kerajaan mendaki bukit terjal, menuruni lembah berjalan siang dan malam tak kenal lelah panas dan dinginpun tak dirasakannya akhirnya sampai didaerah bernama Wajo.
 Mendengar berita kedatangan Arumpone Arung Matowa Wajo datang menjemput dan menginap di rumah Cakkuridie di Lowa bersama Abdul Hamid Baso Pagilingi melepas lelah, mengatur strategi baru. Keakraban TellumpoccoE kembali terbukti di Soppeng dilayani oleh Datu Soppeng, di Wajo Arung Matowa Wajo menjemputnya. Jika Bone kesulitan, Soppeng-Wajo merasakan begitu bunyi ikrar “LamumpatuE ri Timurung”. Sementara target operasi serdadu Belanda menangkap Arumpone hidup atau mati rupanya semakin jauh dari harapan musuh yang dihadapinya semakin bertambah dengan masuknya Soppeng, Wajo, dan Sidenreng. Perlawanan Arung Labuaja di Bone Selatan membuat Belanda pusing tujuh keliling bersama Petta Tenrie bertahan di Bontonrihu daerah pegunungan yang sulit dijangkau medan bertebing batu dan berhutan lebat. Petinggi Soppeng juga melawan Belanda Watang LipuE, Sule Datu dan La Mappe punya pengruh dan memiliki banyak senjata juga La Pabeangi Arung Bila dan laskarnya membuat Belanda harus ekstra hati-hati.
Pada tanggal 12 November 1905, terjadi pertempuran sengit di Lamposo dan Balusu, serdadu Belanda pimpinan Kapter Kooy nyaris kewalahan melawan laskar Soppeng dibawah Komando Watang LipuE dan La Mappe. Keakraban kerajaan-kerajaan tetangga Bone membuat Belanda salah menyusun strategi mengalahkan Bone dan menangkap rajanya ternyata tidak semudah yang dipiirkan,  kerajaan Bone bukan Kerajaan kecil.  Di bulan Juli sampai  Agustus 1905  penangkapan Arumpone bersama putranya belum juga membuahkan hasil bagi Belanda keduanya ahli dalam menyusun strategi. Di rumah Cakkuridie di Lowa Wajo, La Pawawoi Karaeng Sigeri berkeluh kesah kepada putranya dan permaisuri tercinta juga kepada pengikutnya yang menyertainya tentang perjalanan panjang yang melelahkan. Sejak meninggalkan Saoraja di Watampone tidak terasa telah memasuki bulan ketiga namun belum juga menemukan tempat aman yang terhindar dari pengejaran Belanda dimana dia berada selalu saja dauber Belanda. Selaku Panglima KeraJaan Bone Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE termenung mendengar penuturan orang tuanya begitu pula dengan permaisuri dan keluarga lainnya membuat suasana hening, sangat hening. Masih ada duaratusan laskar passiuno yang setia mengikuti kemana saja pergi kerajaan tetangga Soppeng, Wajo, Sidenreng juga memberikan bantuan moril dan matril membuatnya mampu bertahan dan melawan.
Permaisuri dan I Cenra istri Baso Pagilingi hanya mampu mendengar keluh kesah itu dalam hati kedua srikandi Bone tersebut berbisik dengan irama purba pesan leluhur Tellabuu Essoe ri tengnga bitarae (matahari tak akan terbenam dipuncak langit) Sementara itu, suatu laporan mengejutkan serdadu Belanda telah berada di Tancung di rumah Ranreng Bettempola Arung Ennengnge sebahagian menuju ke Lowa tempat Cakkuridie juga salah seorang dari Arung Ennengnge. Maka atas pertimbangan dari CakkuridiE dan juga sejumlah petingga Wajo lainnya Arumpone dan serombongan meninggalkan Lowa dilepas sahabatnya, petinggi-petinggi Wajo disiapkan bekal selama perjalanan. Setelah berpamitan dengan CakkuridiE rombongan Arumpone berjalan kearah barat entah daerah mana lagi menjadi tujuannya melewati padang luas, menuruni jurang mendaki bukit dan menyebrangi sungai. Sampailah diperbatasan Siwa-Tanah Toraja tempat ini diketahui bernama Awo penduduk Awo menjemput kedatangannya menunjukkan tempat aman dilereng gunung didepan mulut sebuah gue batu yang besar. Dibuatkan gubukp-gubuk untuk berteduh disalah satu tempat yang agak ketinggian dipasang pos pengintai mengamati musuh disiapkan makanan dan kebutuhan lainnya wujud kecintaan terhadap Arumpone. Arung Awo segera menghimpun tenaga lalu bergabung dengan lascar Arumpone dengan tekad ikut berperang melawan Belanda yang beritanya semakin mendekati Awo untuk menangkap Arumpone hidup atau mati. Pengejaran Belanda memang tidak berhenti persenjataan lengkap, personil militer tanggunh membuat Arumpone keluar dari negerinya namun bagi serdadu Belanda sangat melelahkan sangat luarbiasa dalam sejarah perangnya.
Mengetahui Arumpone meninggalkan negerinya Panglima Operasi Belanda mengubah strategi Kapten Marsoose Van Stiprian Luiseius diserahi tugas untuk pengejaran guna menangkap Arumpone dan putranya. Dipagi hari tanggal 5 September 1905 serdadu Belanda pimpinan Van Luiseius berangkat ke Awo lewat Gilireng dan Kera dengan senjata lengkap,dengan personil tangguh. Sebelum serdadu Belanda tiba di Awo dihadang oleh laskar Bone yang dibantu laskar Awo sehingga terjadi kontak senjata secara mendadak membuat serdadu Belanda kocar-kacir berhamburan mencari perlindungan. Dilereng gunung Awu di mulut gua batu Addatuang Sidenreng mengutus putranya menemui Arumpone dan Petta PonggawaE dan menyampaikan kesiapannya  membantu Arumpone sebagai wujud keakraban Bone-Sidenreng.  Didepan Arumpone dan Petta PonggawaE putra Addatuang Sidenreng menyampaikan Addatuang Sidenreng menghimpun tenaga menggalang kekuatan untuk membantu melwan serdadu Belanda Si Putih Mata. Tersenyum La Pawawoi Karaeng Sigeri menerima putra Addatuang Sidenreng lalu dengan suara mantap berwibawa berpesan keada Addatuang Sidenreng agar bantuan tersebut secepatnya dikirim. Bantuan Addatuang Sidenreng tersebut dirasakan Arumpone dan pengikutnya sebagai mata air yang menyejukkan hati keluar dari sela-sela batu di Bulu Awo membasahi kerongkongan yang kering. Tetapi sebelum bantuan Sidenreng tiba persembunyian Arumpone dan pengikutnya terkepung rapat oleh serdadu Belanda dibawah pimpinan Letnan Eilers dari Marsose namun kehabisan bekal. Besoknya tanggal 13 November 1905 yang kelabu Letnan Eilers bergerak menuju Bonto Pasang Letnan Van Riemsdijk bergerak ke Lumingka Letnan Snellen van Vollenhoven ke Lombok.
Didepan gua batu dilereng Bulu Awo Arumpone dan keluarga diliputi kecemasan bangkit berdiri Abdul Hamid Baso Pagilingi memohon petunjuk dan restu kedua orang tuanya juga kepada isterinya I Cenra Arung Cinnong. Dengan mata sedikit meneteskan air Baso Pagilingi Petta PonggawaE berkata: kedua orang tuaku yang saya cintai juga isteriku I Cenra Arung Cinnong semoga saya tetap memiliki keberanian. Menghadapi serangan serdadu Belanda dihatiku sekarang, hanya ada dua pilihan menang dalam membela kerajaan Bone Tana Sumange’ atau gugur sebagai pahlawan Tanah Ugi bagai “Bunga Sibollo” harum dan wangi. I Cenra Arung Cinnong memeluk suaminya ikut pula permaisuri menepuk bahu anaknya dengan suara terputus-putus keduanya berkata walaupun aku hanya perempuan yang lemah tetapi aku berdua tetap berada dibelakangmu. Sebelum keluar meninggalkan gua Batu menghadapi serangan Serdadu Belanda Petta PonggawaE berteriak lantang mungkin disinilah, dilereng Bulu Awo darahku yang penghabisan akan menetes. Sebab walaupun kita berlari keujung langit serdadu Belanda tetap saja membuntuti wahai kedua orang tuaku, isteriku tercinta dan segenap laskar pemberani kerajaan Bone relakan diriku bertarung diwalawala bessie.
Petta PonggawaE dan sejumlah lascar diikuti Daeng Matonggo manghadapi musuh sedangkan Arumpone bersama permaisuri I Cenra Arung Cinnong dan keluarga lainnya dikawal sejumlah laskar berjalan kebarat. Serangan sporadik serdadu Belanda memberondong pertahanan Baso Pagilingi desingan peluru dan asap memenuhi udara tombak, keris dan kelewang ikut bicara lereng Gunung Bulu Awo bersimbah darah merah. Pepohonan, bebatuan dan rerumputa dilereng Bulu Awo yang penuh sejarah menjadi saksi bisu yang tak mampu bicara bagaimana Baso Pagilingi dengan mata merah menghadapi musuh dengan keris terhunus. Seandainya burung-burung dan belalang dilereng Bulu Awo, bicara bagai manusia maka pasti akan mengungkap pertarungan itu kemampuan Pakkanna Kerajaan Bone menghadapi serangan serdadu Belanda. Pertempuran semakin sengit menyeramkan Petta PonggawaE, Daeng Matonggo dan laskar bagaikan serigala lapar menerkan mangsanya keris dan tombak diayunkan kekiri dan kekanan serdadu Belanada nyaris dibuat kewalahan. Arumpone dan keluarga yang berjalan ke barat mendapat firasat buruk tentang anak-anaknya kepada permaisuru dan I Cenra Arung Cinnong diajaknya untuk ketempat semula mendekati putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi. Menurutnya jiwa Baso Pagilingi terancam walaupun dia Panglima ahli strategi waktu keluar bersama Daeng Matonggo bayangan buruk melintas di benak Arumpone akan keselamatan BAso Pagilingi dengan laskarnya.
I Cenra Arung Cinnong semakin gelisah teringat firasat mertuanya selama ini yang dikatakan selalu menjadi kenyataan namun dalam lubuk hatinya yang dalam mengepul doa kepada Allah dan Nabi-Nya. Arumpone berbalik ketempat semula didepan gue batu dilereng Bulu Awo ditengah jalan dicegat dua orang penduduk agar tidak melanjutkan perjalanannya pertempuran sengit berkobar didepan gua batu. Sementara Petta PonggawaE bersama laskarnya berhadapan langsung dengan serdadu Belanda dan ketika menhayunkan keris pusakanya sebutir peluru mengenai pangkal pahanya menyebabkan terungkur mencium bumi. Walaupun tidak ada darah yang mengucur namun kelihatannya sulit untuk berdiri Baso Pagilingi masih sempat berteriak menyatakan tidak akan mundur setapak, siap berperang hingga tetes darah terakhir demi Tana Sumange. Sementara itu Daeng Matonggo Wakil Panglima Perang merangkul dan memapah Petta PonggawaE beberapa butir peluru bersarang di dadanya keduanya tersungkur, berlumuran darah keduanya gugur bagai kembang di taman tenrinawa kessinna Seorang laskar berlari menemui Arumpone gugrnya Petta PonggawaE gugrnya Daeng Matonggo ditempat yang sama diterjang serentetan tembakan senapan Belanda dibawah sebuah pohon yang rindang.
Mengetahui Petta PonggawaE telah gugur I Cenra Arung Cinnong berlari mencarinya disusul Permaisuri, Arumpone dan keluarganya ditemukan terbaring kaku dijaga laskar disampingnya pula terbaring Daeng Matonggo. Serdadu Belanda mendekati mayatnya dengan pedang terhunus, putih mengkilat bermaksud memenggal dan mengambil kepalanya bukti kematian panglima perang Bone kepada komandannya yang berada di Pompanua. Mengetahui rencana serdadu Belanda I Maddiawe seorang perempuan pemberani yang selalu dekat dengan permaisuri berdiri menantang serdadu Belanda dengan keris terhunus diayun-ayunkan. Berdiri pula Andi Mami mencabut keris lalu diserahkan kepada Arung Cinnong agar melindungi mayat Baso Pagilingi dari rencana busuk serdadu Belanda yang bermaksud memenggal kepalanya. Kemarahan I Cenra Arung Cinnongmemuncak bagai air mendidih seratus derajat serdadu Belandapun mengurungkan niat membiarkan saja I Cenra Arung Cinnong merangkul dan mendekap mayat suaminya. Hari itu tanggal 17 November 1905 merupakan perlawanan terakhir Arumpone. Melihat putranya Baso Pagilingi telah tewas Arumpone merenung dan meletakkan senjata. Beliau berpikir, berapa banyak laskar telah gugur, berapa banyak darah tumpah membasahi bumi selama lima bulan lebih lima bulan berperang sementara harapan bertahan semakin tipis kondisi fisik laskarnya semakin turun. Satu-satunya yang tidak pernah goyah adalah jiwa kesatria dan semangat patriotis itulah yang membuat dirinya mampu bertahan mempertaruhkan nyawa dan segalanya membela kerajaan Bone yang dicintainya. Moni pale’ Lapie natappo’ bombing lipu tenritta, Sumange’ tea lara, Moni pale sunge’ laona tallinrang mabela sumange’ tea lara. Kepada permaisuri dan Arung Cinnong dan juga sisa-sisa lascar yang masih hidup Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri berkata Rumpa’ni Bone – Rumpa’ni Bone – Rumpa’ni Benteng pertahanan Bone telah bobol.
Permaisuri dan I Cenra Arum CInnong menatap Arumpone penuh keharuan linangan air mata sebagai tanda berduka I Maddiawe, And Mami dan keluarga lainnya menekan gunda dengan napas kesedihan. Letnan Eilers yang memimpin penyergapan mendekati Arumpone mengulurkan tangan mengingatkan bahwa perang telah usai perngorbanan kedua belah pihak terlalu banyak pertumpahan darah sebaiknya dihentikan. Tatapi walaupun telah meletakkan senjata La Pawawoi Karaeng Sigeri tetap berdiri jiwa kesatria masih membara dihatinya memikirkan kerajaan Bone dan rakyatnya yang sebentar lagi akan ditinggalkannya. Letnan Eilers kembali menyapa Arumpone “Yang mulia Raja Bone telah kami tawan mari kita berjalan menuju ke Pare-pare di pare-pare lalu naik kapal H.M.Asahan untuk selanjutnya menuju ke Ujung Pandang” Mendengar ajakan Komandan Belanda permairusi berdiri dan berkata agak emosi bahwa Arumpone tidak biasa berjalan kaki selalu diusung kemanapun ia pergi sambil usungan dalam gubuk. Letnan Eilers menyimak maksud permaisuri setelah mengerti, lalu menyuruh anggotanya mengambil usungan Arumpone didalam gubuk dua orang serdadu Belanda berlari cepat mengikuti perintah dari komandannya. Kemudian kembali membawa usungan lalu diletakkan di depan Arumpone yang masih berdiri seperti berpikir kemudian menatap permaisuri tercinta minta pertimbangan bagaimana sebaiknya. Permaisuri mengangguk tanda setuju tak ada jalan lain kecuali pasrah mengikuti keinginan serdadu Belanda tunduk bukanlah berarti kekalahan demikian dalam hati kecilnya. Dengan Bismillah, Arumpone naik usungan diangkat serdadu Belanda menuju parepare diikuti permairusi dan segenap keluarga juga sisa-sisa lascar yang masih hidup keesokan harinya baru sampai di Rappang.
Sepeninggal Arumpone dan pengikutnya lereng Bulu Awo menjadi sepi dan sunyi hanya terdengar kicauan burung terdengar dipepohonan suaraq jangkring diselah-selah bebatuan semuanya berduka, semuanya berkabung. Seperti mengucapkan “Selamat jalan” buat Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dan doa arwah  Baso Pagilingi Petta PonggawaE raja Bugis yang berjiwa kesatria sejati membela, mempertahankan kerajaan Bone. Pada Taggal 29 November 1905, Arumpone dan sekeluarga tahanan Belanda dengan kapal H.M. Asahan menuju Ujungpandang dari Ujungpandang, diasingkan ke Bandung. Berita gugurnya Baso Pagilingi Petta Ponggawa Bone dan tertawanya La Pawawoi Karaeng Sigeri dihembuskan Belanda kesegala penjuru untuk melemahkan semangat para laskar yang masih bertahan diberbagai tempat.  Disebarkan ke Selatan kerajaan Bone wilayah pertahanan laskar La Temmu Page Arung Labuaja Dulung Awang Tangka yang sulit ditemukan jejak langkahnya apalagi menangkapnya hidup atau mati. Usaha Belanda menyebarkan informasi tentang gugurnya Petta PonggawaE tertawanya La Pawawoi Karaeng Sigeri ternyata banyak membuahkan hasil sejumlah petinggi laskar banyak menyerahkan diri.
Untuk mengetahui tempat Arung Labuaja Belanda menelusuri Camba, Pattunuang Asue lanjut ke Bontorihu perbatasan Gowa Gattareng Matinggi dan Wanuwa Waru namun buruannya tetap tidak ditemukan. Berikutnya mencari jejak Daeng Patangnga bekas penguasa enclave Gowa mulai dari Benuang, Raja dan Parigi Lamuru, Muttiara dan Mario Riwawo namun hasil perburuannya tetap saja nihil. Pada malam hari tanggal 11  November 1905 tiba di Lampoko Soppeng Riaja Panglima Operasi serdadu Belanda dengan mengawal satu kompi Marsose. Besoknya pukul sebelas dipagi hari Kolonel Engelen datang membantu mengatasi perlawanan lascar Bone yang bertahan terus dekat Lampoko membuat kompi Lanshoek kewalahan.
Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dibawa oleh Belanda mengarungi laut mninggalkan dataran Celebes selatan dan Kerajaan Bone yang dicintainya menuju ke Bandung kota yang dingin. Di depan Gubernur Jenderal Belanda yang mengadilinya di kota Jakarta Arumpone mengucapkan tantangan membuat penguasa Belanda tersebut mengagumi ketegasan dan keberaniannya. Pernyataan yang sangat tegas dan berani mengatakan hati Gubernur Jenderal Belanda Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri seorang raja Bugis yang berhati baja menantang Belanda, menantang penjajah. Walau dirinya dalam belenggu kekuasaan tetapi bergeliat melepaskan diri tubuh kasarnya tertawan oleh penjajah tetapi jiwa dan hatinya tetap melawan seperti berada dicakrawala yang bebas.
Beberapa tahun hidup dipengasingan menghirup udara Bandung yang dingin ketentuan Allah Maha Kuasa datang juga yang panjang tidak mungkin terpotong yang pendek tidak mungkin tersambung. Pada tanggal 17 Januari 1911 Arumpone La Pawawoi Karaeng SIgeri mengehembuskan nafas terakhirnya di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Bangsa dan Negara kehilangan Patriot rakyat Kerajaan Bone berselimut duka sanak keluarga melepas kepergiannya teriring doa kepada Sang Pencipta semoga arwahnya tenang disisi-Nya. Dimakamkan diperkuburan Mangga Dua tetapi keputusan presiden RI Soeharto maka pada tanggal sepuluh Bulan Juli tahun seribu Sembilan ratus tujuh empat dimakamkan kembali di TMP Kalibata. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dan putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi telah lama meninggalkan dunia yang fana kerajaan Bone tercinta di tana Ugi dan seluruh rakyat yang setia padanya. Kinii tulang belulangnya hancur dimakan tanah tetapi nama besar dan jasanya terus dikenang terlukis indah didalam sejarah terpatri abadi dihati rakyat tanah Bone dan sebagai seorang kesatria dan patriot sejati.
Pahlawanku, di sini tanah Bone Tana Sumange’,Tanah Ritappa Dewatae nan asri seribu generasi mengagumi keberanianmu seribu generasi menghargai jasamu tidurlah tenang, menanti kami !
Kami generasimu menjalin kata, mengharap arwahmu mendengaranya, lewat renung Ininnawa, kupersembahkan untukmu …
Rumpa’na Bone
Lontara’ Kissana Tana Sumange, Ri lipu malebbiku
Salassa Batara Tungke, Tudang ri Langkana
Iya labela temmanengnga temmassaile, Ri limpo tengnga padang
Mangolo ri pammassareng, Tellabu essoe ri tengnga bitarae.
            Rumpa’ni bitarae siruttungeng langie
            Wae mata paccemmena, wae mata pawalunna
Sunge ripaseng lipu tenrita, Nalete passengereng
Takkena ungawaru, riayala kembongeng
Matti limbang ri maje
(Ciptaan : Mursalim)
Penutup
Satu perlawanan sengit telah berakhir dengan segala pengorbanan yang tidak ternilai harganya. La Pawawoi Karaeng SIgeri selaku tokoh sentralnya telah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Bandung pada tanggal 14 Desember 1905. Sedangkan Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE selaku Panglima Perang Kerajaan Bone telah gugur sebagai pahlawan Tanah Ugi delereng guunug Bulu Awo perbatasan Siwa dengan tanah Toraja pada tanggal 18 November 1905.
Tertangkap La Pawawoi Karaeng Sigeri dan gugurnya Putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi dan ribuan lakar pakkanna passiuno lainnya, merupakan bukti betapa tingginya semangat patriotis rakyat Bone dibawah pimpinan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya menantang penjajah Belanda. Kalau saja La Pawawoi Karaeng Sigeri selaku Raja Bone ke-31 mau menerima tawaran Belanda untuk bekerja sama mengelola pelabuhan BajoE dan Cenrana, mungkin masalahnya akan menjadi lain. Setidaknya kursi kerajaannya tidak akan goyah. Segala bentuk kesenangan dan kemewahan sudah jelas berada dipihaknya. Segala fasilitas yang diinginkan sudah tentu dipersiapkan oleh Belanda yang memiliki keinginan untuk menjajah tanah Bone Khususya Tana  Ugi pada Umumnya.
Namun bukan itu yang menjadi impiannya. Bagi La Pawawoi Karaeng Sigeri, segala bentuk penjajahan harus dilawan dengan prinsip “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup dalam cengraman penjajah”. Bagi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mau begitu saja didikte yang kemudian mematuhi segala kainginan penjajah Belanda.  Prinsip yang demikian tegas, dilontarkan La Pawawoi Karaeng Sigeri didepan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta tahun 1906 yang bunyinya sebagai berikut : “Walaupun aku akan terdampar diluar bumi sekalipun, asalkan tak goyah juga keyakinanku pada kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad, nabiku. Karena itu adalah pendirianku. Biarkan tubuh kasarku menghadap atau tertawan, tetapi hatiku pantang bersua dengan kompeni Belanda.
Pernyataan yang begitu tegas dan penuh keberanian itu, menunjukkan bahwa La Pawawoi Karaeng Sigeri disamping sebagai seorang patriot sejati, juga seorang muslim yang taat dan tetap bersanda pada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat kita lihat pada balasan surat ultimatum Belanda tanggal 14 Juli 1905. Diakhir kalimat La Pawaoi jelas terbaca : “Saya sekarang hanya menunggu perlindungan Tuhan dan Nabi-Nya, demikian pula dari pemerintah”. Begitulah bunyi kalimat terakhir La Pawawoi Karaeng Sigeri yang ditulis dan dikirim kepada Belanda di perairan Teluk Bone pada tanggal 20 Juli 1905. Kalimat ini membuat Belanda merasa dilecehkan dan akhirnya melakukan serangan terhadap kerajaan Bone yang mengakibatkan gugurnya ribuan Pahlawan Tanah Ugi termasuk Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE.
Ketegasan dan keteguhan hati seorang La Pawawoi Karaeng Sigeri selaku raja Bone – XXXI, adalah suatu langkah yang cukup  berani. Oleh karena itu, sebagai generasi penerusnya, patutlah untuk mengeningkan cipta mengenang jasa-jasanya yang tidak ternilai harganya dalam memperjuangkan kebenaran. La Pawawoi Karaeng Sigeri dan putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE, termasuk sejumlah pimpinan lascar Kerajaan Bone yang gugur dalam pertermpuran melawan Belanda, memang talah lama meninggalkan dunia yang fana ini. Mungkin tulang-tulangnya telah hancur dimakan tanah, tetapi semangat juanganya yang sulit ditemukan tandingannya tetap berkobar dihati rakyat Tanah Ugi khususnya dan rakyat Indonesia yang sempat membaca kisahnya pada umumnya.
Kepada Arwahnya semoga bahagia disisi-Nya dan diterima sebagai penghuni Surga yang sejuk dan nyaman. Amien……. Ya………… Rabbal Alamin.
CATATAN ISTILAH
1.    Toddo’ siri napesse : keyakinan dalam mempertahankan harga diri (martabat)
2.    Wija To Bone : keturunan orang Bone
3.    Tappere Boddong : Tikar kecil berbentuk segi enam sebagai tempat duduk Arumpone.
4.    Rituddukenna Lamangolokelling CempaningaE : semacam paying yang menaungi Arumpone ditempat didiknya.
5.    Pattettengen dan Jowa : dayang-dayang dan pengawal
6.    Tellabu EssoE ri tengngana bitaraE : matahari tidak akan terbenam dipuncak langit. (Suatu keyakinan bagi masyarakat Bugis dalam membangkitkan semangat).
7.    Pakkanna Passiuno : Pasukan berani mati.
8.    Riwalawala BessiE : Diarena pertempuran dengan tombak.
9.    Appasareng KannaE : Dimedan perang.
10. Ade’ Mappura onronna Bone : Adat atau aturan yang berlaku secara mutlak di Kerajaan Bone.
11. Osong Pakanna : Lagu-lagu pembangkit semangat dalam perang.
12. Ada passokkang : Kalimat pembangkit semangan yang diucapkan oleh pemimpin lascar dalam menghadapi musuh.
13. TellumpoccoE : Aliansi tiga kerjaan yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo.
14. Bunga Sibollo : Bunga yang disimbolkan kepada lascar yang gugur dalam pertempuran.
15. Rumpa’no Bone : Kalimat yang diucapkan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri setelah melihat putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi tewas diterjang peluru tentra Belanda yang artinya “Bobollah pertahanan Bone”.
IKRAR KESETIAAN (ANGNGARU)
1.    Abdul Hamid Baso Pagilingi :
“ITAWA MAI LAPUANG BATARA TUNGKE’NA BONE MUPEMANGGA MADECENGNGA SINING PATTUMPU BATUE SAILE TOWA LABELA SINING TAU MAEGAE IYYA ARENA LABELA BETTA MASOLLASOLAE TEMMENNAJAI SUNG’KU MATTEKKA RI PAMMASSARENG
INAPPA MEMENGI PARANRU RUKKA MAWEKKE ALINGERENG MANGKAU’KU BATARA TUNGKE’NA BONE NALESANNA RIMAJE SUMANGE’ BANAPATIKKUWAJOWAJO MANILLOLANG RI WANUA LINO KUINRENG TOMMIRO BELA TONGENG PASSINGARA’KU
KUWANNA MACCAPPU BELLO RIWALAWALA BESSIE RIAPPASARENG KANNAE TELLU TAUNNI LABELA KALAMAU’ MEKLLA MALA NYAWA NAIYA KUBALIANGNGI KALIMAU’ RISUROE KUWA LALOPA MUALA RIWALAWALA BESSIE RIAPPASARENG KANNAE MUPANEDDINGI’I SUNGE’KU MATTEKKA RIPAMMASARENG.
(Pandanglah dirikupuang, penguasa tunggalnya Bone tataplah diriku bai-baik wahai undangan yang hadir lirik pulalah aku wahai orang banyak saya adalah jagoan dan pemberani  yang tidak memikirkan ajalku untuk meningglkan dunia ini.
Kitika pernyataan perang telah diumumkan oleh raja yang kuhormati, penguasa tunggal Bone maka seluruh semangatku telah menyebrang keakhirat kini hanya bayang-bayanglah saja yang Nampak didunia sebab saya hanya meminjam tubuhku yang kasar ini.
Saya akan mengakhiri segala kemampuanku diarena pertarungan tombak, dimedan pertempuran, telah tigatahun malaikat maut bermaksud mencabut nyawaku tetapi saya selalu menjawab malikat maut yang disuruh ambillah nyawaku diarena pertarungan tombak dimedan pertempuran dencingkanlah ajalku menyebrang keakhirat.
(Tamat)
(Teluk Bone) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar