Mereka terhasut atau telah menjadi korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka
merasa bahwa merekalah yang dimaksud dengan orang-orang yang asing
(ghuroba)
“Badaal islamu ghoriban wasaya’udu ghoriba kama bada’a fatuuba lil
ghoroba“ , “Islam datang dalam keadaan asing dan akan akan kembali
asing maka beruntunglah orang-orang yang asing itu”.. (Hr Ahmad)
Kalau asing ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat,
tentulah hal yang benar namun asing ditengah-tengah mayoritas ulama yang
sholeh maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak panah yang
meluncur dari busurnya atau keluar dari pemahaman mayoritas kaum muslim
(As-Sawad Al-A’zhom)
Mereka merasa “seorang diri” karena berpegang dengan pemahaman secara
dzahir atau harfiah pada perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu (yang
artinya): ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun
engkau seorang diri”
Seorang diri ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat,
tentulah hal yang mudah dalam menetapkan al haq namun seorang diri
ditengah-tengah ullama-ulama yang sholeh dan lebih berkompetensi
menetapkan al haq maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak panah
yang meluncur dari busurnya atau keluar dari pemahaman mayoritas kaum
muslim (As-Sawad Al-A’zhom)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa Islam
pada akhirnya akan asing pula sebagaimana pada awalnya karena pada
umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalankan perkara
syariat namun mereka gagal untuk sampai (wushul) kepada Allah atau
mereka gagal mendekatkan diri kepada Allah ta’ala atau mereka gagal
meraih maqom disisiNya
Ciri atau tanda seorang muslim berada pada jalan yang lurus atau
dalam kebenaran sehingga meraih maqom disisiNya atau dekat dengan Allah
ta’ala adalah muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh
Firman Allah ta’ala
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia)
kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dalam meraih maqom disisiNya
sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin,
muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan
shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia
rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk,
orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR.
Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada
mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti
pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”.
Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”.
Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR.
Ibnu Majah dan Thabrani]
Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang
berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah). Tujuan beragama adalah untuk
menjadikan manusia yang berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh
karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda
kepada Allah”
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang
rusak atau agar menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia
yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak
keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat)
tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai
ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan
perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih
sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim
yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya)
,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i,
hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada
putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada
hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya
kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai
anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran
tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa
Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Salah satu pelopor tasawuf dari kalangan Tabi’in adalah Al Hasan
al-Basri (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M) seorang ulama besar
dalam beberapa bidang Ilmu, seperti: Hadis, Fikih dan Tafsir, juga
seorang pendidik dan sufi. Nama lengkapnya Abu Sa’id al-Hasan bin Abi
Hasan Yasar al-Basri. Ayahnya bernama Yasar al-Basri Maula Zaid bin
Sabit al Ansari, sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah.
Al Hasan al-Basri menyerukan kepada murid-muridnya untuk bersikap
Zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia, zuhud dalam pengertiannya
adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari
persoalan dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada
Tentang tasawuf al Hasan al-Basri berkata:
”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada
Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang
siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan
kedalam neraka”.
Al Hasan al-Basri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan Khauf
(Takut kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan diiringi dengan
rajā (senantiasa mengharapkan Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala). Saking
takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ia selalu membayangkan bahwa
neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata-mata hanya untuk dirinya. Oleh sebab itu al Hasan al-Basri
mengatakan: ”Jauhilah dunia ini karena ia sebenarnya serupa dengan ular,
licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.
”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”
Untuk apa
dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir
sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Abu Bakar ra berdoa, ”
Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS al Hadid [57] : 20)
“
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut [29] : 64)
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia
berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu
amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan
dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “
Zuhudlah kamu di dunia
niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada
manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukannya mengkhawatirkan
umatnya berbuat syirik namun beliau lebih mengkhawatirkan umatnya egois,
individualis dan berlomba-lomba dengan kekayaan bumi, harta dunia dan
kekuasaan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu
wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi
Allah, sungguh aku melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci
perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi, demi Allah, saya tidak
mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang aku
khawatirkan atas kalian adalah kalian berlomba-lomba mendapatkannya.”
(HR Bukhari 6102)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu
wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi
Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi
kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya
tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun
yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap
kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului
kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku
tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi
yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian
berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan
akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR
Muslim 4249)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh demi Allah,
bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang
aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta)
dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu
kalian berlomba-loba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka
berlomba-lomba memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan
kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR Bukhari 2924)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar,
“sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism,
individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok).
Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang
dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari
350)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hampir tiba suatu masa di
mana berbagai bangsa atau kelompok mengerubuti kalian bagaikan
orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Seorang sahabat
bertanya, “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada waktu itu?”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “(Tidak) Bahkan jumlah
kalian pada hari itu banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah
buih, laksana buih di lautan (banjir). Allah mencabut rasa gentar
terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan
penyakit “al wahn”ke dalam hati kalian. Seseorang bertanya, “Apakah al
wahn itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut
mati.” (HR Abu Dawud).
Laksana buih dikarenakan tidak menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Jika seorang hambaNya telah dekat dengan Allah ta’ala dan
menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia menjadi kekasih
Allah atau wali Allah sehingga tidak laksana buih di lautan.
Firman Allah ta’ala yang artinya, ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62 )
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Jika kita yakin dalam pengawasan Allah ta’ala atau yang terbaik dapat
menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh) maka kita akan mencegah diri
dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah diri dari perbuatan
maksiat, mencegah diri dari melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah.
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah
mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia
berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol
ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun
kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat
kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya
Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan
keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat
Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas
yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya
kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri
mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya
Semakin akhir zaman maka semakin banyak orang memuji Allah namun semakin sedikit orang memuja Allah”
Semakin banyak orang yang mengetahui dalil dan paham sehingga mereka
mengucapkan “Alhamdulillah” kemudian mereka bergembira terhadap apa
yang diberikan-Nya dan mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”
kemudian mereka bersedih atas apa yang luput dari mereka namun semakin
sedikit orang yang memuja Allah yakni bergembira dengan segala
pengaturan dari Allah Azza wa Jalla baik terhadap apa yang diberikan-Nya
maupun atas apa yang luput dari mereka.
Firman Allah ta’ala yang artinya, … (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (QS Al-Hadiid :23)
Semakin banyak orang yang mengetahui dalil dan paham sehingga
menyebut “Bismillah” “Dengan nama Allah” namun semakin sedikit orang
yang bersama Allah ta’ala.
Jika mereka bersama Allah ta’ala, tentulah mereka tidak akan mencela,
menghujat, merendahkan, mengolok-olok saudara muslimnya sendiri.
Tentulah mereka akan menghindari perbuatan keji dan mungkar
Kesimpulannya, Islam pada awalnya asing diantara manusia yang
berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) dan pada akhirnya akan asing
atau semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim
yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang
menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Abu Bakar ra berkata, “
Orang-orang saleh itu akan dicabut satu
persatu, sehingga manusia hanya tinggal yang fasik saja, seperti serbuk
kurma dan gandum. Allah sudah tidak peduli lagi terhadap mereka“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830