Senin, 18 April 2016

Sejarah Proses Islamisasi di Kerajaan Bone



Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.

Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.

Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.

Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.

Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.

Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.

Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.[14]

Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.

Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone.

Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.

Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka. 
sumber : telukbone.id

Minggu, 17 April 2016

Andi Pangerang Daeng Rani ( Kepala Afdeling / Kepala Daerah Bone ) Tahun 1951 - 1955


Andi Pangerang Petta Rani atau lengkapnya Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang lahira pada tanggal 14 Mei 1903 dari rahim seorang wanita bernama I Batasai Daeng Taco. Ayahnya adalah seorang bangsawan bernama Andi Mappanyukki yang kemudian dikenal sebagai raja Bone ke XXXI.
Awalnya beliau bernama Andi Pangerang Daeng Rani tapi kemudian masyarakat lebih familiar dengan Petta Rani. Tidak ada catatan mengenai perubahan ini, pun dengan waktu pastinya. Sementara itu nama Pangerang sendiri bermula dari sebuah peristiwa ketika beliau masih dalam kandungan. Ketika itu pasangan yang sedang menanti kelahiran anak mereka itu mendatangi orang tua mereka sambil membawa persembahan atau erang-erang dalam bahasa Makassar. Peristiwa inilah yang kemudian diabadikan dalam nama Pangerang. Jadi Pangerang yang dimaksud bukanlah seperti Pangeran dalam bahasa Indonesia.
Dalam tubuh Andi Pangerang Petta Rani mengalir darah bangsawan murni dari dua kerajaan besar, Bone dan Gowa. Meski begitu sama sekali tidak ada sifat beliau untuk menjunjung tinggi darah bangsawannya. Berbagai sumber menyatakan kalau semasa hidupnya Andi Pangerang Petta Rani selalu berusaha untuk tidak terikat pada gelar kebangsawanannya. Hidupnya sederhana dan selalu menghormati orang lain meski saat itu feodalisme masih sangat kental di Nusantara.
Sifat tuna pamai atau rendah hati yang dimiliki beliau menurun dari sang ayah. Meski seorang bangsawan, Andi Mappanyukki tidak serta merta tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang memang terkenal senang mendekati para bangsawan. Andi Mappanyukki malah terang-terangan menentang kolonialisme sehingga sempat dibuang ke Selayar bersama keluarganya.
Andi Pangerang Petta Rani hidup dalam lingkungan yang keras dan egaliter. Sedari kecil dia sudah membiasakan dan dibiasakan hidup di antara rakyat kebanyakan tanpa harus berlindung di bawah previlige sebagai seorang bangsawan. Menurut cerita beliau sering memarahi kawan sepermainannya bila mereka segan menabrakkan diri ketika bermain bola. Teman-temannya mungkin masih segan mengingat Petta Rani adalah seorang bangsawan, tapi justru itu yang membuat Petta Rani menjadi tidak nyaman.
Andi Pangerang Petta Rani tumbuh menjadi anak muda yang cerdas, cakap dan berkeinginan kuat. Itu pula yang membawa karirnya di dunia militer dan pemerintahan meroket dengan cepat. Puncaknya adalah pada tahun 1956 ketika dia diangkat menjadi gubernur militer untuk wilayah Sulawesi di tengah suasana Indonesia yang masih kacau.
Andi Pangerang Petta Rani mempunyai 8 orang anak dari 3 orang istrinya. Istri pertama yang dinikahinya tahun 1929 bernama Basse Daeng Talanna. Perempuan yang meninggal tahun 1951 ini memberinya 5 orang anak. Istri keduanya bernama Daeng Karang, dinikahi di tahun yang sama dengan istri pertamanya. Daeng Karang memberi 3 orang anak. Tahun 1952 Andi Pangerang Petta Rani menikah untuk ketigakalinya dengan wanita bernama Ratna Winis Daeng Carammeng. Dari pernikahan ketiga ini mereka tidak dikarunia anak.
Selain terkenal sebagai seorang pejuang militer dan sipil, Andi Pangerang Petta Rani juga dikenal sebagai seorang pembina Persatuan Sepakbola Makassar (PSM). Kesuksesan PSM pada era 1950an hingga awal 1960an tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Andi Pangerang Petta Rani. Beliau adalah sosok yang sangat dekat dan perhatian pada para pemain. ?Beliau sering meluangkan waktu untuk bertanya tentang kondisi pemain, termasuk kondisi keuangan atau rumah tangga mereka. Tak heran bila semangat pemain sangat tinggi bila mereka didampingi Andi Pangerang Petta Rani.
Banyak kisah yang menceritakan tentang keserdahaan seorang Andi Pangerang Petta Rani, termasuk kebiasaannya menaiki becak ke tempat tujuan meski dia masih berstatus gubernur. Beliau beralasan itu sebagai satu cara untuk mendekatkan diri dengan rakyat. Jabatan gubernur dan darah bangsawan hanya titipan, bukan untuk disombongkan; demikian kata beliau.
Banyak kisah yang menggambarkan betapa sederhana dan kuatnya kepribadian seorang Andi Pangerang Petta Rani. Sebagian orang malah menganggap beliau sebagai God Father, sosok yang mengayomi dan lekat dengan rakyatnya. Tak heran bila namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan besar di kota Makassar dan kota-kota lainnya.
Pertemuan Presiden Sukarno dengan raja-raja se-Sulawesi di Yogyakarta yang berakhir dengan pembubaran kerajaan tersebut. Dari kiri: Raja Bone Andi Mappanyukki, Presiden Sukarno, Sultan Buton La Ode Falihi, dan Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Petta Rani

Sejarah Perjalanan Kasta di Kerajaan Bone



Kasta dari bahasa Portugis (casta) adalah pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu (Bangsa-bangsa Kerajaan Nusantara): 
  1. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu  disandang oleh para pribumi.
  2. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua  harta milik negara.
  3. Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.
  4. Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah:
  1. Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Ksatria.
  2. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna, bangsa asing.
Sepert halnya kasta-kasta di Bone merupakan hasil penyusunan yang menjadi ketentuan atau pengaturan ( Wari) yang telah ditetapkan raja Bone dimasa pemerintahan Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng (raja Bone ke-16  (1696-1714 M). Sejak itulah susunan dan tingkatan derajat bangsawan di Bone diberlakukan bahkan masih ada sampai sekarang.

Pembagian masyarakat Bugis-Makassar dalam kasta-kasta atau golongan-golongan adalah suatu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan religius dari masyarakat Bugis-Makssar di Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Di dalam buku “Latoa” ( kumpulan dari sabda-sabda dan petuah-petuah dari raja-raja dan orang-orang cerdik pandai dahulu kala ) dikatakan, bahwa memelihara dan mempetahankan kasta-kasta adalah salah satu syarat untuk menjadikan sebuah negeri bisa menjadi besar. Dikatakan selanjutnya, bahwa kemakmuran sebuah negeri adalah bergantung dari empat perkara, yang mana setelah agama Islam masuk di daerah Bone ini ditambahkan dengan apa yang disebut  “sara”.atau undang-undang Islam.

Adapun kelima perkara tersebut ialah :
    1. Ade’ (kebiasaan dahulu);
Ade merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
    2. Rapang (undang-undang);
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
     3. Bicara /tuppu (peradilan) ;
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
    4. Wari’ (pembagian dalam kasta-kasta);
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
    5. Sara’ (undang-undang Islam)
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)

Kasta-kasta di Bone dapat diperinci atas tiga kasta utama, yaitu:
    1. Anak Arung (anak raja-raja);
    2. To-Maradeka (orang-orang merdeka/orang-orang biasa atau kebanyakan);
    3. Ata (hamba-sahaya atau budak)

Kasta  A, terbagi dalam golongan-golongan, yaitu :

A.I.  Anak Arung Matasa’ (anak raja / putera-puteri mahkota yang masak/ murni darahnya), yaitu ayah dan ibunya anak arung matasa’, baik yang berketurunan dari kerajaan Bone sendiri maupun yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan lain yang dinilai sederajat/ setinggi dengan Bone, antara lain: Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng. (golongan ini disebut  ANA'-PATTOLA, yang berhak penuh menggantikan raja).

A.II. Anak Arung Matasa’ (putera-puteri bangsawan asli yang bukan putera-puteri mahkota) yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan tersebut pada aksara A.I. tersebut di atas. (golongan ini juga disebut ANA' PATTOLA, yang dapat pula menggantikan raja apabila putera-puteri mahkota tidak ada dan/atau sesuatu hal lain yang musykil penyebabnya).

A.III. Arileng atau Anak-Manrapi, yaitu anak yang lahir dari :bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II. Ibu, dari kasta golongan yang tingkatannya atau darahnya menurun (tidak sama dengan suaminya), yang biasanya disebut Rajeng. Golongan ini dapat diangkat menjadi raja bilamana tidak ada Anak-Pattola , karena Anak-Pattola dianggap tidak cakap untuk menduduki takhta kerajaan).

A.IV. Rajeng, yaitu anak yang lahir dari: Bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II. ibu, dari kasta / golongan yang tingkatnya / derajatnya menurun (jauh beda dengan suaminya, yang lazim disebut Cera’-Ciceng atau anak arung sipu-E (bangsawan separuh, anak-cera’ (bangsawan campuran).

A.V. Anak Arung-Sipu-E (bangsawan separuh), yaitu anak yang lahir dari: bapak, kasta golongan A.I atau A.II. Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang biasa atau kebanyakan).

A.VI. Anak-Cera’ (bangsawan campuran), yaitu anak yang lahir dari: Bapak dari kasta golongan anak arung sipu-E (A.V.):
Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang biasa/kebanyakan ataupun budak).

Kasta golongan A.I. s/d  A.VI. tersebut di atas ini, orang-orang Bone pada khususnya dan di daerah-daerah tanah Bugis pada umumnya memberi julukan dengan istilah “ANAK-EPPONA-MAPPAJUNGNGE” ( keturunan raja-raja di Bone).

Kasta B. Terbagi dalam golongan:

B.I. To-Deceng (orang baik-baik);

B.II. To-Sama’ / To-Maradeka ( biasa atau kebanyakan / orang-orang merdeka)

Kasta C. Terbagi dalam golongan:

C.I. Ata-Mana (hamba sahaya warisan)

C.II. Ata-Mabuang ( hamba sahaya baru)
selain daripada golongan anakkarung (anak raja-raja di Bone) atau kasta golongan A. Tersebut, ada pula golongan yang disebut “ANA' ARUNG PALILI”, yaitu golongan dari turunan raja-raja dahulu sebelum turunan raja Bone “ Lapatau Matanna Tikka” (raja Bone XVI).

Pada umumnya, golongan ini tidak termasuk golongan yang memberi julukan dengan istilah “ANA' EPPONA MAPPAJUNGNGE” bukan asal keturunan To Manurung.

Akan tetapi di dalam perjalanan masa dan perkembangan zaman, tidak kurang juga bilangan turunan Arung Palili’ yang berketurunan pula dari golongan anakarung (anak raja-raja di Bone) dan dari bangsawan tinggi di Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dll. Karena perkawinan, sehingga hubungan dan pertalian kekeluargaan serta keterbatasan, bahkan kekuasaan dan pengaruh raja-raja yang besar dan berkuasa bertambah luas pada masanya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka kasta-kasta di masing-masing kerajaan, seperti : Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain adalah pada dasarnya sama dengan kasta-kasta di Bone. Perbedaannya mungkin terdapat pada sebuah istilah-istilah (terminologi) dan peletakannya dalam susunan tingkatan menurut ketentuan-ketentuan setempat masing-masing.

Dalam sejarah Bone, bahwa setelah masuknya agama Islam di kerajaan Bone pada tahun 1611 M pada masa pemerintahan La Tenri Ruwa – Sultan Adam MatinroE ri Bantaeng,  (1611-1616) dan ajaran serta tuntunan syariat agama Islam tersebut telah berjalan tersebar secara meluas dan merata puluhan tahun lamanya, yaitu pada masa raja Bone ke-13  Lamaddaremmeng Matinro-E ri Bukaka berkuasa di kerajaan Bone (1631-1644), seorang raja terkenal menjalankan ajaran Islam secara murni. Beliau menetapkan dan menjalankan ajaran Islam dalam kerajaan Bone, bahwa tidak boleh lagi ada orang yang memelihara atau memiliki hamba sahaya (budak), mereka harus dimerdekakan dan dibayar tenaganya jika dipekerjakan. Terhadap mereka yang tidak mau menaatinya akan diambil tindakan keras.

Sikap dan tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, menyebabkan banyak pembesar dan bangsawan di Bone yang pada masa itu masih kuat dan tetap mempertahankan kebiasaan dan kepercayaan leluhurnya, yaitu kepercayaan animisme dan festisisme, mengadakan tantangan terhadap raja Bone Lamaddaremmeng. Bahkan Ibu kandung beliau sendiri pun (We Tenri Solerang Makkalurue Datu Pattiro), termasuk golongan penentang. Namun demikian, raja Bone Lamaddaremmeng tidak menghiraukannya. Maka beberapa pembesar kerajaan Bone bersama pengikut pengikutnya dan ibu beliau sendiri mengungsi ke Gowa untuk meminta perlindungan pada raja Gowa Sultan Malikussaid.

Akhirnya timbullah peperangan antara raja Bone Lamaddaremmeng dengan Sultan Malikussaid raja Gowa, karena raja Bone Lamaddaremmeng tidak mengindahkan usaha dan ajakan Sultan Malikussaid raja Gowa yang telah berulang kali menyelesaikan sengketa tersebut secara damai yang tak kunjung berhasil. Raja Bone Lamaddaremmeng memilih mengalah dalam perang tersebut karena lawan bukan siapa-siapa yaitu dari keluarganya sendiri.

Dengan adanya tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, walaupun menghadapi tantangan besar yang berakhir dengan peperangan sehingga beliau memilih mengalah, tetapi dari raja Bone Lamaddaremeng lah maka kasta-kasta di Sulawesi Selatan dan Tenggara, khususnya di Bone sedikit banyaknya mulai mengalami perkembangan baru menuju ke arah perbaikan sosial dan ekonomi rakyat pada umumnya.

Perubahan dan perkembangan baru tersebut lebih meninngkat, nampak dan nyata pada masa raja Bone ke-15 Latenritata Sultan Saaduddin Arung Palakka Matinroe ri Bontoala, (1667-1696). Kemudian beliau diganti kemanakannya, yaitu raja Bone Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng sebagai raja Bone ke-16( 1696-1714), mengikuti jejak dan kepemimpinan pamannya (Latenritata Arung Palakka) dan berhasil mencapai sukses, kerajaan Bone serta rakyatnya berada dalam kondisi yang lebih jelas dan lebih nyata struktur dan tata kendali kehidupan sosial, politik dan ekonominya.
Walaupun demkian karena kondisi, situasi dan keadaan demikian rupa pula, perbudakan di Sulawesi Selatan danTenggara (termasuk Bone) berlangsung terus, meskipun tidak sehebat seperti dulu. Demikian juga raja Bone Lapatau Matanna Tikka bahkan berhasil menyusun suatu ketentuan dan pengaturan baru mengenai susunan serta tingkatan derajat bangsawan di Bone yang berlaku dan diberlakukan sejak itu bahkan sampai sekarang, sesuai uraian-uraian kasta di Bone.

Sejak semula raja Bone Latenritata Arung Palakka berkuasa di Bone, pada masa itu pula pengaruh kekuasaan penjajahan Belanda untuk menanam dan memperkukuh penjajahannya di Sulawesi Selatan Tenggara pada khususnya dan Indonesia bagian Timur pada umumnya, setelah kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda dalam tahun 1666-1669, yang beralaskan pada suatu perjanjian di tempat yang bernama Bungaya (Gowa) pada tanggal 18 November 1667, yang dikenal dengan sebutan “Cappayya Ri Bungaya” antara kompeni Belanda (Speelman dan kawan-kawannya) disatu pihak dengan raja Gowa bersama pembesar kerajaan di lain pihak.

Dalam hubungan ini pula Belanda mulai mengambil langkah-langkah serta tindakan ke arah penghapusan perbudakan (alaverny) yang pada mulanya juga nampak tidak membawa hasil yang diharapkan. Perbudakan di Sulawesi Selatan Tenggara berlangsung terus, namun tak seperti dulu lagi.

Bagi kasta raja-raja dan kaum bangsawan (kasta A). Belanda bersimpati, bersikap lunak dan berlaku lembut, bahkan Belanda berusaha keras untuk mengambil hati dan simpati  raja-raja dan golongan bangsawan, kasta mana tradisionil memegang peranan dan kekuasaan sesungguhnya atas rakyat banyak. Dengan demikian, maka disaat ini pula Belanda dapat pula menggunakan politik Devide et Impera-nya  (politik pecah-belahnya) diantara kaum raja-raja.

Pengertian secara definitif Divide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Dua setengah abad kemudian setelah kerajaan Gowa dikalahkan, kompeni Belanda tersebut barulah pada tahun 1905 Belanda benar-benar berhasil menguasai seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, yaitu setelah menguasai Bone secara definitif dengan peperangan yaitu kekerasan senjata. Semenjak itu tidak ada lagi raja di Bone dan di Gowa. Dalam tahun 1931 barulah Belanda mengangkat raja yang baru di Bone  ( La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa, 1931-1946) dan  di Gowa. tahun 1936.

Dengan berhasilnya Belanda menguasai Gowa dan Bone dalam tahun 1905/1906 tersebut, berarti keruntuhan dua kerajaan yakni kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dan bahkan seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara, yang dalam hubungan ini berarti pula keruntuhan golongan bangsawan di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Penghapusan perbudakan di daeah ini pun menjadi lebih nyata dan menentu, namun perhubungan antara keturunan-keturunan sahaya dengan keturunan-keturunan pemiliknya yang lama masih juga kelihatan erat bahkan nampaknya jalinan perhubungannya berubah dan beralih bentuk menjadi kekerabatan dan / atau kekeluargaan layaknya. Sehubungan pula dengan perkembangan cepat dan pesat dari masyarakat di daerah ini, maka dapat dikatakan bahwa pada dewasa ini lenyaplah semua perbudakan di dalam bentuk apapun juga.

Dalam kancah kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan kemudian leburnya pemerintahan dan kekuasaan raja-raja (swapraja) di seluruh Indonesia., demikian pun di Sulawesi Selatan dan Tenggara, maka dikalangan kaum bangsawan tradisionil pun di daerah pada khususnya, di Indonesia pada umumnya dewasa ini sudah tiba masanya berakhir secara hukum.

Dalam masa peralihan dan perkembangan baru dewasa ini telah terjadi hubungan perkawinan antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria yang dipandang dan diketahui lebih rendah derajatnya (tingkatannya) atau dengan kata lain pria yang tidak sederajat, bahkan adakalanya juga pria yang berasal dari golongan kasta B. (orang biasa atau kebanyakan), yang pada masa dahulu jarang sekali terjadi kecuali sesuatu hal dan sebab musykil yang sukar dielakkan (memaksakan).

Karena demikian justru pendukung struktur kekuasaan dalam kerajaan yang amat penting, adalah pranata perkawinan yang mempunyai arti politik sangat utama di kalangan bangsawan wanita juga mempunyai kedudukan penting, karena seseorang wanita bangsawan tidak boleh kawin dengan dengan pria yang mempunyai derajat yang lebih rendah darinya.
Kaum wanitalah yang menetapkan, bahkan meningkatkan derajat keluarganya ke jenjang yang lebih tinggi derajat atau kedudukannya . tiap-tiap anakarung (bangsawan) penguasa negeri, atau pembesar kerajaan berusaha memperbesar atau memperluas jaringan kekeluargaannya dan kekerabatannya, sehingga golongan keluarga yang rumpun dan luas jaringannya selalu diusahakan diperisterikan (dikawini). Dengan demikian, maka ia akan kuat dalam pengaruh dan kekuasaannya dalam poloitik kerajaan.

Secara umum dapat disimpulkan, bahwa To Manurung di Bone sebagai awal pelapisan masyarakat Anakarung (bangsawan) orang Bone, berkembang dengan pesatnya menjadi lapisan sosial penguasa kerajaan, melalui pranata sosial perkawinan. Hal itulah merupakan pangkal pokok yang menyebabkan struktur kekerabatan menjadi sendi membangun kekuatan dalam struktur politik kerajaan bone. Kaum bangsawan Bone yang menjadi kekuatan utama dalam struktur kekuasaan, dapat menguasai segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal itu masih sangat terasa sampai pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada waktu itu, perbedaan antara kaum bangsawan Bone, Gowa dan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara, tidak mempunyai lagi arti yang penting seperti halnya dahulu dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara. Semuanya dapat memakai atau tidak memakai gelar atribut kebangsawanan, tergantung kepada pilihan dan kemauan tiap-tiap orang. Lagi pula struktur pelapisan sosial masa kini telah sangat berubah, sehingga apa yang disebut kaum bangsawan di Sulawesi Selatan dan Tenggara , sekarang tidaklah menentukan mobilitas sosial, dalam komposisi pelapisan sosial masa kini.

Namun orang bijak mengatakan, sejarah adalah sejarah dan harus diakui kalau semua itu pernah terjadi. Apapun yang terjadi di masa lalu adalah landasan kekinian untuk masa akan datang. Bangsa yang besar adalah bagi mereka yang dapat  memaknai perjalanan sejarah dan budaya pendahulunya. 
Mendiskreditkan perjalanan sejarah leluhur sama halnya mediskreditkan diri sendiri. Sejarah tak perlu diperdebatkan namun perlu didiskusikan, pilih yang terbaik untuk diambil sarinya. Sekarang yang dibutuhkan  adalah semangat hidup  SUMANGE'  TEALARA'  Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan.
(Mursalim)